Seorang warga menghapus mural bergambar bendera ISIS di tembok makam yang berada di kawasan Tipes, Solo. Mural sejenis ditemukan di beberapa titik di kota ini. TEMPO/Ahmad Rafiq
TEMPO.CO, Malang - Narapidana terorisme yang telah menjalani pembebasan bersyarat, Muhammad Cholily, mengaku tak mengetahui gerakan pendukung Negara Islam Irak dan Suriah (Islamic State of Iraq and Syria/ISIS). Selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan Lowokwaru Malang, ia mengaku tak mendapatkan informasi apa pun tentang ISIS lantaran akses informasi narapidana terorisme dibatasi.
Densus 88 Anti Teror dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sempat menemui Cholily pada bulan puasa lalu. Mereka menanyakan mengenai jejaring ISIS. Namun, "Saya jawab tak tahu. Informasi sangat terbatas karena di dalam lapas tak boleh membawa HP," kata Cholily, Rabu, 6 Agustus 2014.
Ia juga tak mengetahui dukungan terhadap ISIS dideklarasikan di Malang. Kelompok Ansharul Khilafah menggelar deklarasi dan membaiat para pendukungnya di Dusun Sempu, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, pada 20 Juli 2014. (Baca: Pemerintah Dinilai Telat Tangkal ISIS)
Ia mengaku tak pernah berkomunikasi lagi dengan jaringan terorisme Dr Azahari setelah ditahan. Setelah menjalani masa pembebasan bersyarat, ia bakal menjauhi jejaring terorisme dan memilih hidup damai bersama keluarganya. Cholily tengah mencari kerja untuk menafkahi hidup keluarganya. (ISIS akan Hancurkan Ka'bah)
Cholily alias Yahya merupakan anggota jaringan teroris pimpinan Dr Azhari dan Noordin M Top. Dia dikenal sebagai kurir bom yang diproduksi Azahari. Densus 88 Anti Teror menangkapnya di perbatasan Semarang-Demak pada 9 November 2005. Dari keterangan Cholily, polisi berhasil menemukan markas persembunyian Dr Azahari di Jalan Flamboyan, Kota Batu.
Saat ini di LP Lowokwaru terdapat tujuh narapidana terorisme, di antaranya Agung yang terlibat dalam terorisme di Poso. Dua narapidana terorisme dipindahkan dari Markas Brimob Kelapa Dua ke Lembaga Pemasyarakatan Lowokwaru Malang pada 23 April 2014. Kedua narapidana, yakni Fadli Sadama, 47 tahun, alias Muis, dan Tamrin, 35 tahun, alias Muhammad Tamrin alias Ramli. Mereka dipindahkan dari Jakarta.
Empat narapidana terorisme lainnya dipindahkan dari Markas Komando Brimob Kepala Dua Depok pada 7 Juli 2014. Keempatnya adalah Budi Utomo alias Slamet alias Sarto dihukum 10 tahun penjara, Wagiono alias Gandhi divonis 10 tahun, Agung Fauzi alias Lukman alias Junaedi divonis 9 tahun, Sutrisno alias Park Trimo alias Pak Dokter alias Pak Mantri dihukum 8 tahun penjara. Mereka adalah anggota kelompok teroris yang dipimpin Abu Roban. EKO WIDIANTO