TEMPO.CO, Jakarta - Titik Yulianti tersenyum lebar. Perempuan 25 tahun ini tak bisa menyembunyikan kegirangannya saat ditanya perihal pengobatan penyakit tuberkulosisnya. "Sekarang sudah sehat dong, sudah bersih sejak dua bulan lalu," katanya di Banyumas, Jawa Tengah, Jumat, 4 April 2014.
Bergulat setengah tahun lebih dengan penyakitnya batuknya itu, ia akhirnya dinyatakan sembuh oleh dokter. Titik merupakan korban kuman Mycobacterium tuberculosis ketiga di komplek rumahnya di Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah. Sebelumnya, kakaknya, Puji Sarono, juga mengalami penyakit serupa.
Puji baru sembuh setelah menjalani pengobatan intensif tuberkulosis selama 6 bulan. Penderita lainnya adalah Sono, tetangga depan rumah mereka yang telah dua tahun lebih mengidap penyakit itu. Dari ketiganya, hanya Sono belum juga membaik. (Baca: Bakteri Tuberkulosis Mati karena Vitamin C).
Sono menolak menjalani pengobatan karena obat yang diberikan petugas medis membuatnya mual. "Sudah didatangi orang rumah sakit, tapi tetap saja bandel," kata Titik. Takut tertular, kini tetangga memilih tak mendekati Sono.
Tuberkulosis, atau disebut dengan TB, merupakan penyakit yang ditularkan melalui udara. Kuman TB dikeluarkan percikan dahak penderita lewat batuk, bersin, meludah, atau berbicara. Jika terjangkit penyakit ini, gejala awalnya berupa batuk berdahak lebih dari tiga minggu, nyeri dada, nafsu makan kurang, dan berat badan melorot.
<!--more-->
Kepala Pengendalian TB Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo Jakarta, Zulkifli Amin, mengibaratkan penderita TB yang tak diobati seperti Sono ibarat penebar paku di jalanan. Soalnya, orang yang menghirup kuman yang berasal darinya akan tertular. "Secara teori satu penderita TB yang tak diobati akan menular kepada 12-20 orang," katanya.
Zulkifli membenarkan obat TB membuat pasien menjadi mual dan alergi. Namun, pengobatannya tak boleh berhenti. Jika berhenti, pasien bisa resitensi atau kebal terhadap obat. "Makanya perlu pendamping untuk mengingatkan agar minum obatnya tidak berhenti."
Zulkifli mengatakan pasien yang sudah resisten terhadap obat lini pertama ini harus menjalani pengobatan lini kedua. Namun, pengobatan tersebut membutuhkan ongkos yang lebih mahal. Angka kematiannya pun menjadi lebih tinggi. (Baca juga: Susahnya Memerangi “Koch Pulmonam”).
"Begitu dia resisten dan patuh berobat, biasanya dua tahun kemudian dia meninggal," ujarnya. Zulkifli berharap pemerintah bisa menganggarkan dana untuk menyediakan pekerja sosial yang menjadi pendamping pasien dalam pengobatan itu.
Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga mengatakan TB memang masih menjadi salah satu penyakit terbanyak yang membunuh masyarakat. Berdasarkan data 2010, dari 100 ribu penduduk, 297 di antaranya menderita TB.
Sebanyak 90 persen penderita TB tersebut dapat diobati. Sisanya, atau sekitar 27 dari 100 ribu penduduk meninggal karena penyakit ini. Diperkirakan, sebanyak 670 ribu orang meninggal saban tahun karena TB atau sekitar 186 orang setiap hari.
NUR ALFIYAH