Barongsai beratraksi saat aksi damai membawa pesan TRI TURA (Tiga Tuntutan Rakyak) di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, (21/01). TEMPO/Dasril Roszandi
TEMPO.CO, Jakarta - Calon hakim Mahkamah Konstitusi Franz Astani dicecar tim pakar seleksi calon hakim konstitusi mengenai waktu tidurnya. "Anda tidur jam berapa setiap malam?" tanya Lauddin Marsuni saat uji kelayakan dan kepatutan di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa, 4 Maret 2014.
Ditanya seperti itu, Franz tak langsung menjawab. Dia mengawali jawabannya dengan kalimat lain yang langsung dipotong oleh Lauddin. Franz lalu mengulangi jawabannya, "Saya terbiasa melihat jurnal, jam 11 malam." (baca: Gagal Seleksi KPK, Franz Nekat Ikut Tes Hakim MK)
Lauddin langsung menyela jawaban Franz. Menurut Lauddin, jam tidur berpengaruh pada produktivitas seseorang. Semakin malam jam tidur seseorang, maka produktivitasnya juga semakin tinggi. "Makin produktif karena waktunya digunakan untuk membaca buku," katanya.
Anggota tim pakar lain yang merupakan mantan hakim konstitusi, Ahmad Syarifuddin Natabaya, menanyakan perbedaan antara gotong royong dengan tolong-menolong. Franz menjawab bahwa gotong royong bersifat masyarakat dalam arti luas, dan tolong-menolong lebih bersifat orang ke orang.
Jawaban ini rupanya tak memuaskan Natabaya. Dia mengutip istilah dalam bahasa Belanda yang menyatakan gotong royong merupakan tolong-menolong yang ada pamrihnya. Sebaliknya, tolong-menolong dilakukan tanpa pamrih. "Hakim konstitusi harus mengetahui segala macam hukum," kata Natabaya.
Hari ini Komisi Hukum kembali menggelar uji kelayakan dan kepatutan. Selain Franz Astani, tiga hakim lain yang diuji hari ini adalah Wahiddudin Adams, Aswanto, dan Sugianto. Komisi Hukum akan memilih dan menetapkan dua nama calon hakim konstitusi besok, Rabu, 5 Maret 2014. (baca: Calon Hakim Konstitusi Dikuliahi Pakar Tata Negara)