Mari Elka Pangestu ditemani Gitaris Dewa Budjana saat mengunjungi Pameran Gitar Lukis dan Peluncuran buku Dawai Dawai Dewa Budjana di Museum Nasional, Jakarta (30/8). Maestro seni Srihadi Soedarsono, Djoko Pekik, dan sejumlah fotografer profesional seperti Darwis Triadi, Jay Subyakto, dan Ray Bakhtiar ikut serta dalam gelaran ini. TEMPO/Nurdiansah
Pekik juga punya cara lain mengatasi trauma. Ia mengecat rumahnya dengan warna hijau mirip warna seragam tentara. Menurut dia, di tengah situasi tertekan di dalam penjara masih ada kebaikan kecil yang dilakukan oleh tentara. Bahkan, Pekik belakangan bersahabat akrab dengan tentara dan polisi yang mengawasinya di dalam tahanan militer.
Pekik menjadi tahanan politik di Benteng Vredeburg Yogyakarta pada 8 November 1965-1972. Selama dalam tahanan, Pekik ada dalam pengawasan Komandan Corps Polisi Militer atau CPM, Moes Soebagyo. Dia juga komandan daerah perang DIY. Ia meninggal tiga tahun yang lalu di Yogyakarta. Moes Soebagyo adalah warga Yogyakarta. Waktu itu markas CPM berada di dekat Kali Code, sekarang di barat Hotel Santika. (Baca: Komnas HAM Minta Kejaksaan Serius Usut Kasus 1965)
Moes Soebagyo waktu itu menyuruh Pekik membuat patung memanah pada Desember 1966. Ketika membuat patung, Pekik sering ditunggui Moes Soebagyo. Dalam suasana yang santai sambil menyedot rokok dan berbincang ngalor-ngidul, Moes Soebagyo cerita suatu saat ia dipanggil oleh Bung Karno di Akademi Militer Nasional di Magelang. Peristiwa ini terjadi tahun 1966. Sukarno menitip pesan kepada Moes Soebagyo agar seniman Istana tidak dibunuh. Kalau pun tetap dipenjara, Sukarno berpesan agar para tahanan tetap ditahan di Yogyakarta. “Sukarno bilang menciptakan seniman lebih sulit ketimbang mencetak insinyur,” kata Pekik menirukan Moes Soebagyo. (Baca juga: http://edsus.tempo.co/Gerakan30september/1)