TEMPO.CO, Surabaya - Puluhan pedagang asongan yang bisa berjualan di Taman Bungkul Surabaya, Kamis siang, 11 April 2013, menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemerintah Kota Surabaya. Mereka menuntut agar diperbolehkan kembali berdagang di kawasan taman yang berada di Jalan Raya Darmo seluas 9.000 meter persegi itu.
Anggota Himpunan Asongan Taman Bungkul (Hantam) Yakub mengatakan, semula mereka dilarang berjualan selama berlangsungnya pertemuan APEC sejak 6 - 21 April 2013. Namun dalam sepekan terakhir beredar kabar bahwa Satpol PP akan melakukan larangan untuk seterusnya. ”Ini mematikan mata pencaharian sekitar 200 pedagang asongan di Taman Bungkul,” katanya kepada Tempo.
Yakub yang sudah empat tahun lebih sebagai asongan di Taman Bungkul mengatakan, penghasilan mereka sebenarnya tidak seberapa. Per hari Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu. "Itu pun kalau tidak ada penertiban dan bukan pada musim hujan," ujarnya.
Itu sebabnya Yakub sangat menyesalkan sikap Satpol PP yang tidak lagi mengizinkan mereka mencari nafkah di Taman Bungkul. Selama ini, kata dia, para pedagang selalu mentaati aturan. "Pesan walikota agar kami menjaga kebersihan sudah kami lakukan. Tidak boleh melanggar batas, itupun sudah kami patuhi,” ucapnya.
Maka dalam aksinya, para pedagang kecil itu menggelar banner serta spanduk. Salah spanduk bertulsikan: Kami Butuh Binaan Bukan Pembinasaan.
Kepala Seksi Pengawasan Satpol PP Pemerintah Kota Surabaya Joko Wiyono mengatakan, tidak benar para pedagang dilarang berjualan di Taman Bungkul. ”Di sana ada yang patuh, ada yang bandel. Yang berunjuk rasa, ya, yang bandel itu,” tuturnya kepada Tempo.
Joko menegaskan penertiban tidak hanya dilakukan di Taman Bungkul. Dasarnya adalah Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2003 tentang penataan PKL dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2009 tentang pemakaian lahan terbuka hijau untuk masyarakat.