Pelapor Mahfud Md ke Mabes Polri Lengkapi Berkas
Editor
Bobby Chandra
Selasa, 18 Desember 2012 18:56 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pelapor sembilan hakim Mahkamah Konstitusi, termasuk Ketua MK Mahfud Md, kembali ke Markas Besar Kepolisian RI untuk melengkapi berkas laporan. M. Taufik Budiman sebagai pelapor mendatangi Badan Reserse dan Kriminal untuk menyerahkan beberapa kelengkapan berkas.
Taufik mengatakan berkas tersebut di antaranya berupa dokumen putusan MK, risalah sidang, dan pendapat mereka di dalam persidangan. "Semua sudah kami berikan," kata Taufik di depan kantor Badan Reserse dan Kriminal, Selasa, 18 Desember 2012,
Senin pekan ini, Taufik mewakili tiga tokoh masyarakat, yaitu mantan Komandan Marinir Letnan Jenderal Suharto, pensiunan dosen Universitas Airlangga Tjuk Kasturi Sukiadi, dan Ali Azhaar Akbar, penulis buku Lapindo File: Konspirasi SBY-Bakrie, melapor ke Mabes Polri.
Mereka melaporkan sembilan hakim konstitusi: Mahfud MD, Ahmad Sodiki, Anwar Usman, M. Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadil Sumadi, Muhammad Alim, dan Harjono.
Para hakim tersebut dituduh bertanggung jawab atas keterangan fiktif dalam putusan mereka terhadap uji materi Pasal 18 Undang-Undang No 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mengenai dana untuk Lumpur Lapindo.
Adapun Suharto menggugat pasal tersebut karena di dalamnya mengatur bahwa negara harus menanggung kerugian akibat lumpur Lapindo di Jawa Timur. Padahal kerugian tersebut seharusnya ditanggung PT Lapindo Brantas, perusahaan milik keluarga Aburizal Bakrie. Perusahaan ini menambang di lokasi Lapindo yang berujung munculnya banjir lumpur.
Pada 13 Desember lalu, MK menolak gugatan tersebut. Mengacu pada Pasal 2 UU Nomor 32 Tahun 2009 dan Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, majelis konstitusi menegaskan tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc yang mengakibatkan rusaknya lingkungan yaitu membayar ganti kerugian dengan melakukan pembelian atas tanah dan bangunan masyarakat dalam peta area terdampak. Sedangkan di luar peta terdampak menjadi tanggung jawab negara sebagai fungsi perlindungan dan jaminan atas lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk rakyat.
Menurut Taufik, putusan MK tersebut didasarkan kepada keterangan palsu. Yaitu, keterangan Dewan Perwakilan Rakyat yang mengatakan lumpur Lapindo adalah bencana nonalam karena gagal teknologi.
"DPR tidak pernah hadir di dalam persidangan memberi keterangan. Tapi ini menjadi aneh karena hakim MK mengutip keterangan dan pendapat dari DPR, yang kemudian pendapat DPR itu diadopsi menjadi pendapat majelis hakim untuk memutus perkara ini," ujarnya.
Menurut dia, di samping pelanggaran pidana, fakta tersebut juga membuktikan ada pelanggaran terhadap hukum acara di Mahkamah Konstitusi. Hukum itu mengatur tentang kewajiban mendengarkan keterangan para pihak di persidangan sebelum membaca dan menjadikan acuan keputusan.
Dia juga mengatakan keterangan DPR tersebut berbeda dengan pendapat yang selama ini terungkap ke masyarakat. "Menurut kami, ini sudah merupakan pelanggaran pidana," kata Taufik.
RUSMAN PARAQBUEQ