TEMPO Interaktif, Jakarta:Penangkapan dan penahanan Mohammad Iqbal oleh polisi merupakan perbuatan sewenang-wenang yang menyalahi prinsip kehati-hatian dan pertanggungjawaban yuridis serta moral. Demikian disampaikan kuasa hukum Iqbal dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (22/6). Dalam pembacaan replik (jawaban dari pemohon) itu, kuasa hukum pemohon, Heri Susanto, menegaskan polisi telah melanggar ketentuan dalam pasal 21 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Selama pemeriksaan itu, kata dia, Iqbal juga dalam keadaan sakit fisik dan psikologi sesuai dengan hasil pemeriksaan tim dokter mabes Polri.Sebelumnya, polisi menganggap penangkapan Iqbal dengan No. pol. : SP.Kap/04/V/2004 densus 88 tanggal 14 Mei 2004 telah sesuai prosedur yang diatur dalam pasal 17 KUHAP tentang bukti permulaan yang cukup. Surat penangkapan itu pun sudah diandatangani Iqbal.Penahanan terhadap Iqbal juga didasarkan atas surat perintah penahanan No. pol. : Sp.Han/05/V/2004 tanggal 15 Mei 2004. Surat penahanan itu, menurut polisi, telah diserahkan kepada Iqbal tapi yang bersangkutan menolak menandatanganinya. Kuasa hukum polisi, Soeyitno, menuturkan, penahanan tersebut dilakukan atas persangkaan bahwa Iqbal telah melakukan tindakan pidana dan melanggar ketentuan pasal 263 junto 266 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan UU No.9/1992 tentang pelanggaran keimigrasian. Ancaman pidana tersebut adalah penjara 5 tahun.Hal itu dibantah oleh Heru, kuasa hukum Iqbal. Menurut dia, alasan pelanggaran keimigrasian itu tidak kuat. Polisi menahan Iqbal lebih karena kedekatan Iqbal dengan Abu Bakar Ba'asyir. Dia mensinyalir, penahanan Iqbal erat kaitannya dengan intervensi Amerika Serikat. Mengingat sebelumnya, Iqbal pernah ditahan oleh ISA (Internal Security Action) Malaysia atas dugaan terlibat Jamaah Islamiyah.Erma Yulihastin Tempo News Room
Jelang COP27, Pemenang Hadiah Nobel Tuntut Mesir Bebaskan Tahanan Politik
3 November 2022
Jelang COP27, Pemenang Hadiah Nobel Tuntut Mesir Bebaskan Tahanan Politik
15 pemenang Nobel mengirimkan surat ke PBB, Dewan Eropa, dan beberapa kepala negara seperti Prancis, Inggris, Amerika Serikat, dan Prancis, supaya bersuara di COP27 membebaskan ribuan tahanan politik.