Polri Paling Banyak Diadukan ke Komnas HAM
Kamis, 30 Agustus 2012 15:35 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kepolisian Republik Indonesia merupakan institusi yang paling banyak diadukan masyarakat ke Komisi Nasional HAM. Dalam catatan pengaduan di Komnas HAM sepanjang 2007-2012, polisi selalu menempati posisi pertama, disusul korporasi dan pemerintah daerah.
"Setelah pisah dengan TNI, wewenang Polri menjadi lebih luas dan sering ada tindakan represif," kata Komisioner Komnas HAM Bidang Pemantauan dan Penyelidikan M.Kabul dalam konferensi pers di kantornya, Kamis, 30 Agustus 2012.
Data dari Komnas HAM menunjukkan, selama tahun 2008, terdapat 4.843 pengaduan, dan 26 persennya atau 1.120 merupakan pengaduan atas tindakan Polri. Tahun 2009, ada 5.853 kasus dengan 1.420 pengaduan tindakan polisi. Berikutnya pada 2010, ada 1.503 berkas pengaduan terhadap kepolisian dari total 6.437 kasus.
Pada 2011, ada 6.358 pengaduan yang 1.839 kasus di antaranya tentang polisi. Sampai Agustus tahun ini, ada 2.847 pengaduan yang 873 di antaranya mengenai kepolisian. Sementara pada tahun 2007, ada 136 pengaduan tanpa ada data perincian. “Total jenderal, pengaduan dari tahun 2007-2012 adalah 26.474 kasus. Tapi yang ditindaklanjuti oleh pihak yang diadukan hanya 40 persen," kata Komisi Mediasi, M. Ridha Saleh.
Pengaduan terbanyak kedua dan ketiga adalah terhadap korporasi dan pemerintah daerah. Kabul mengatakan korporasi yang diadukan ada beberapa yang merupakan warisan dari zaman Orde Baru. Biasanya, perusahaan-perusahaan ini mempunyai kekuasaan yang menandingi negara.
Sedangkan tren pemerintah daerah melakukan pelanggaran HAM terjadi setelah adanya otonomi daerah. "Sebelum ada otoda, dulu pemerintah pusat yang sering dilaporkan," ucap Kabul.
Komnas HAM periode 2007-2012 terdiri dari 11 komisioner yang masa jabatannya berakhir hari ini, Kamis, 30 Agustus 2012. Ketuanya adalah Ifdhal Kasim dengan wakil ketua Yosep Adi P. dan Nur Kholis. Anggota Komnas HAM adalah Munir Mulkhan, Ahmad Baso, Hesti Armiwulan, Saharudin Daming, Jhony N.S., M. Kabul, M. Ridha Saleh, dan Syafrudin Nguma S.
SUNDARI