Untuk kedua kalinya saya hidup membujang. Orang pun sering berkelakar saya masuk PDI. Ini bukan Partai Demokrasi Indonesia atau Partai Domo Indonesia, melainkan Persatuan Duda Indonesia. Empat tahun kemudian, saya menikah untuk ketiga kalinya, dengan Aty Kesumawaty.
Pernikahan ini hanya bertahan empat tahun. Pada 1998 menikah, 2002 bercerai. Dari dua kehidupan pernikahan sebelumnya, tidak ada yang seseru pernikahan ketiga ini. Pada perceraian ketiga, saya kalah di Pengadilan Agama tingkat pertama. Dalam hal pembagian harta gono-gini, hampir saja rumah ini (rumah di Pondok Indah) lepas dari tangan saya.
Harta gono-gini itu kan harta yang diperoleh semasa masih menjalani kehidupan sebagai suami-istri. Padahal, faktanya, saya memiliki rumah ini terlebih dulu, sebelum menikah pada 1998. Lucunya, saya baru tahu hakim yang menangani perkara perceraian dan pembagian harta rupanya disogok.
Saat itu saya tanya, bagaimana prosesnya supaya menang, dijawab, ”Sudah, sogok saja, Pak.” Lo, bagaimana? Saya ini kan mantan Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Kok nyogok? Padahal dulu tugas saya menangkapi orang. Ya, sudah, saya tidak bisa berkutik, karena sudah diputuskan.
Akhirnya rumah ini kembali kepada saya. Tidak ada jalan lain dalam perkara ini. Saya amankan (sogok) ketika proses banding hingga kasasi. Saya harus mengeluarkan setengah miliar rupiah untuk penyelesaian perkara selama 3 tahun 2 bulan itu. Maaf saja kalau saya bilang mafia hakim itu pada dasarnya ada, dan saya mengalami sendiri.
Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam berkeluarga, saya memang bukan contoh yang baik. Bagi saya, perempuan adalah kekuatan sekaligus kelemahan saya.
***