TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada tiga hal yang krusial dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Peradilan Anak (SPPA) yang sedang digodok dengan panitia kerja komisi III DPR.
Menurut Sekretaris KPAI, M. Ihsan, inilah tiga hal krusial tersebut:
1. Penamaan Sistem Peradilan Pidana Anak menurut KPAI seharusnya tidak mencantumkan kata "pidana". Konotasi mempidanakan merupakan hal yang harus dihindari. "Seharusnya diganti Sistem Peradilan Anak Berhadapan Dengan Hukum," kata sekertaris KPAI, M. Ihsan ketika dihubungi Tempo, Selasa, 17 Januari 2012.
2. KPAI menyesalkan masih adanya isu mengenai penahanan dalam rancangan UU tersebut. Menurut Ihsan, pengalaman selama ini banyak menunjukan adanya tindak kekerasan selama dalam proses penahan. "Kekerasan ini banyak terjadi saat penahanan di kepolisian, kejaksaan dan putusan pengadilan," ujarnya.
Isu penahanan anak karena adanya kekhawatiran kalau si anak melarikan diri dan melakukan penghilangan barang bukti. Tapi, menurut KPAI, penahanan ini tidaklah perlu. "Cukup penjaminan orang tua saja bahwa anak tersebut akan mengikuti segala proses peradilan," kata Ihsan.
3. KPAI mengharapkan penghapusan penjara anak dengan mengalihkan bentuk sanksi-sanksi. Jenis-jenis pengalihan sanksi dapat berupa dikembalikan pada orang tua agar dapat dibina. "Tentunya dengan pengawasan lembaga terkait," ujar Ihsan. Selain dikembalikan jenis pengalihan sanksi dapat berupa kerja sosial yang dilakukan usai sekolah.
Sedangkan untuk pelanggaran tingkat berat, KPAI menyarankan anak dikirim ke pusat rehabilitasi, bukan penahanan penjara. "Paradigmanya harus diubah, selama ini pendekatan yang digunakan adalah hukum orang dewasa," Ihsan menjelaskan.
Pusat rehabilitasi nantinya diharapkan melibatkan kaum profesional yang dapat memahami kebutuhan anak."Bukan sekedar ditahan untuk menghasilkan efek jera," ujarnya.
KPAI mengharapkan santernya pemberitaan mengenai permasalahan hukum terhadap anak tidak membuat Panitia kerja Komisi III terburu-buru merampungkan RUU ini. "Jangan terburu-buru karena disanter media, Substansif harus diperhatikan," katanya.
ANANDA PUTRI
Berita terkait
Jaksa Agung Ingatkan Keadilan Restoratif Rawan Disalahgunakan
6 Oktober 2021
Jaksa Agung menjelaskan, penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif merupakan terobosan hukum yang diakui dan banyak diapresiasi.
Baca SelengkapnyaDituduh Palsukan Dokumen, Nenek 93 Tahun Ini Terancam Dibui 7 Tahun
11 Agustus 2015
Nenek Oyoh memilih tertunduk lesu, ketika Jaksa Mumuh membacakan dakwaan, atas tuduhan pemalsuan surat tanah yang kini menjerat dirinya.
Baca SelengkapnyaIbu Susui Bayi di Penjara Ini Diduga Korban Rekayasa Kasus
10 Juni 2015
Heri menduga kasus yang menimpa istri dan anaknya penuh rekayasa.
Baca SelengkapnyaNenek Asyani Titip Surat ke Jokowi: Tolong Saya, Pak...
14 April 2015
Menteri Yohana datang secara khusus ke Kabupaten Situbondo,
Selasa, 14 April 2015 untuk menemui Asyani.
Nenek Asyani Jalani Sidang Kelima
19 Maret 2015
Sang nenek berusia 63 tahun itu mengatakan terpaksa datang ke
pengadilan meski kondisinya belum sehat.
Melankoli Komunal
23 Februari 2015
Tentang hzn ini sama dengan gagasan yang dikemukakan dalam The Anatomy of Melancholy, buku Richard Burton yang penuh dengan teka-teki filosofi tetapi menghibur dari awal abad ke-17.
Baca SelengkapnyaPengadilan Makassar Sahkan Sri Jadi Lelaki
2 September 2014
Meski Sri telah resmi berganti status kelamin, namun namanya belum berubah lantaran tidak mengajukan permohonan pergantian nama.
Baca SelengkapnyaHakim Gowa Vonis Bebas Pencuri Rumput
25 September 2013
Tanaman Lantebung itu dicabuti para terdakwa karena tumbuh di lahan perkebunan yang belum diketahui pemiliknya.
Baca SelengkapnyaHolcim Yakin Buruhnya Memang Bersalah
13 Juli 2013
Ada berita acara pemeriksaan dimana Samuri mengakui sudah mencuri benda milik perusahaan.
Baca SelengkapnyaBuruh Holcim Merasa Jadi Korban Putusan Sesat
8 Juli 2013
Buruh itu melaporkan hakim Cibinong ke Komisi Yudisial.
Baca Selengkapnya