TEMPO Interaktif, Jenewa:Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Senin (9/12) petang WIB menandatangani perjanjian untuk mengakhiri perang selama 26 tahun di daerah paling ujung pulau Sumatra ini. Salah satu isi perjanjian yang tebalnya enam halaman mengatakan "Kedua pihak setuju terhadap kesepakatan tersebut, mulai saat ini, permusuhan antara mereka biarkan menjadi masa lalu saja". Mediator dari Amerika Serikat, Anthony Zinni mengatakan , "Kedua pihak yang mewakili di sini sangat ingin perjanjian ini berjalan. Ini merupakan poin awal yang bagus. Tapi ini hanya permulaan, bukan akhirnya." Karena kepahitan dari konflik ini, para analis merasa takut bahwa keinginan untuk melaksanakan isi perjanjian tersebut akan banyak mendapatkan kesulitan yang dapat mengganggu proses perdamaian ini. Perang di Aceh yang berlangsung kembali setelah 130 tahun lamanya dianggap sebagai salah satu konflik bersenjata tertua di dunia. Sekitar 12.000 orang Aceh telah tewas pada sepuluh tahun terakhir ini. Kekacauan ini disebut sebagai "Perang Tak Terlupakan" karena tidak pernah direncanakan untuk menarik perhatian publik internasional seperti konflik lainnya. Tetapi Aceh terlihat sebagai konflik paling berbahaya di Indonesia, karena keinginan para pemberontak terhadap kemerdekaan dan keinginan pemerintah untuk tidak melepaskan propinsi ini. Langkah ini diambil oleh pemerintah untuk mencegah keinginan untuk memecahkan diri karena perbedaan agama dan etnis dari 210 juta orang Indonesia. Pemerintah Indonesia dan perwakilan GAM mempunyai keinginan yang berbeda-beda, kata sebuah sumber, dan detil yang lainnya akan dilaksanakan kalau perdamaian berjalan dengan baik. Jika jalan keluarnya bisa diselesaikan dengan perjanjian damai yang isinya otonomi daerah seluas-luasnya, kontrol terhadap sumber daya alam, dan pemilihan untuk lembaga legislatif Aceh, kelihatannya akan berhasil. Maka perjanjian ini juga dapat diterapkan pada daerah-daerah konflik lainnya. Perjanjian damai mengharuskan sebuah penyelesaian cepat dari kericuhan, diikuti dengan demiliterisasi sebagian dari Aceh. Berdasarkan perjanjian tersebut, pihak GAM akan menyerahkan senjatanya dan senjatanya akan disimpan di sebuah daerah di bawah pengawasan internasional. Sebagian besar angkatan bersenjata pemerintah, termasuk brigade polisi, juga akan ditarik. Kedua pihak berada di bawah tekanan internasional untuk membuat perjanjian. Pemerintah telah menawarkan kepada propinsi yang kaya akan timah dan minyak ini otonomi seluas-luasnya. Termasuk di antaranya pemilu 2004, di mana GAM kemungkinan akan menang. Meskipun GAM tidak memasukkan keinginannya untuk merdeka, mereka menerima partisipasi dalam proses politik. Pengamat-pengamat asing yang hadir mengatakan bahwa para pemberontak masih khawatir bahwa mereka akan kehilangan posisi tawar menawar mereka jika mereka menyerahkan senjatanya. Mereka juga mengeluh bahwa sekitar 150 peninjau yang sebagian terdiri dari petugas militer dari Phillippina dan Thailand tidak cukup dan mereka memaksa PBB untuk menambah pasukan perdamaian lebih banyak. Perwakilan dari kelompok-kelompok internasional yang membantu Henry Dunant Center menjadi negosiator perjanjian tersebut, juga akan hadir dalam perayaan di sebuah villa di Lake Geneva. Para perwakilan tersebut terdiri dari Zinni, seorang pensiunan marinir Amerika Serikat, Bekas Menteri Luar Negeri Thailand Surin Pitsuwan; dan Budimir Loncar, yang terakhir menjaba sebagai Menteri Luar Negeri Yugoslavia sebelum pecah pada tahun 1992.(AP/Dewi Retno-Tempo News Room)