TEMPO Interaktif, Kupang - Nelayan di Kelurahan Oesapa, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) menyesalkan hasil penelitian Australia yang menyebutkan bahwa perairan Indonesia tidak tercemar minyak Montara yang meledak 21 Agustus 2009 lalu. "Kami merasa lucu dengan hasil penelitian itu, karena sejak awal meledaknya Montara, kita sudah merasakannya," kata Haji Mustafa, seorang nelayan asal Oesapa Kota Kupang, Rabu (23/11).
Menurut dia, nelayan asal Oesapa, Kota Kupang tahun 2009 lalu menemukan gumpalan minyak di perairan Laut Timor yang berasal dari ladang minyak Montara. Apalagi saat angin Timur secara otomatis masuk ke wilayah Indonesia. "Saya heran, koq hasil penelitiannya menyebutkan pencemaran tidak masuk wilayah Indonesia," katanya.
Dia menduga penelitian itu hanya dilakukan di wilayah Australia. Sehingga wajar saja Australia mengatakan perairan Indonesia tidak tercemar minyak Montara. Harusnya peneliti Australia juga meneliti perairan Indonesia sehingga diketahui apa benar, Laut Timor tidak tercemar. "Kalau mau, kita ajak mereka untuk lakukan penelitian disini," katanya.
Sejak 2009 lalu, katanya, dampak pencemaran Laut Timor akibat meledaknya ladang minyak Montara di Blok Atlas sudah dirasakan nelayan di NTT. Hasil tanggapan nelayan Oesapa, misalnya, menurun antara 70-80 persen. "Dampak itu masih dirasakan hingga saat ini," katanya.
Bahkan, lanjutnya, sedikitnya 3.500 nelayan di Oesapa memilih mengungsi ke beberapa provinsi lain untuk mencari kehidupan baru. Provinsi tujuan nelayan itu, antara lain, Papua, Makassar, Sulawesi Utara dan Bangka Belitung.
Dia menambahkan, alat tangkap yang digunakan nelayan Oesapa yang dinamakan bagan hanya diparkir, karena pemiliknya sudah tidak ada lagi, kebanyakan mereka telah pindah, karena hasil tangkapan disini sudah tidak menjanjikan.
Tidak hanya itu, nelayan juga telah beralih profesi, misalnya, dirinya sudah beralih profesi sebagai pedagang kayu bersama sanak familinya, karena tidak bisa hanya berharap pada profesi sebagai nelayan. "Saya punya anak yang harus dinafkahi, tidak bisa hanya andalkan sebagai nelayan," katanya.
Sementara itu, nelayan Oesapa lainnya, Haji Mitu mengatakan hasil tangkapan sebelum Laut Timor tercemar mencapai 1 ton ikan Kakap dan Tuna yang ditotalkan mencapai Rp8 juta per minggunya. Namun sekarang, hasil tangkapan ikan di perairan Laut Timor turun dratis, dalam seminggu hanya mencapai 300 kilogram (kg) atau sekitar Rp3 juta.
Padahal, biaya yang dikeluarkan oleh nelayan dalam sekali tangkapan (selama seminggu) mencapai Rp4 juta, sudah termasuk biaya makan minum dan bahan bakar. "Rata-rata nelayan disini memiliki utang yang banyak, untuk menutupi kerugian yang dialami," katanya, dan enggan menyebutkan berapa utang yang dimiliknya.
YOHANES SEO