TEMPO Interaktif,
Jakarta:Kasus bantuan utang berupa beras untuk rakyat Kuba senilai US$32 juta (Rp320 miliar) ditengarai berbau KKN dan melibatkan nama mantan Kabulog Bustanil Arifin perlu diusut tuntas oleh aparat yang berwenang. Demikian temuan delegasi DPR-RI yang dipimpin Wakil Ketua DPR AM Fatwa. Fatwa yang bersama-sama dengan Tjahjo Kumolo (PDIP), Ali Masykur Musa (PKB) dan Abdul Kadir Ismail (PPP) bertemu dengan sejumlah anggota parlemen dan pejabat Kuba di Havana, Jumat (Sabtu di Indonesia), mengatakan akan melaporkan hasil temuannya itu kepada Presiden Megawati Soekarnoputeri dan Komisi-Komisi DPR terkait. "Kasus bantuan beras untuk Kuba yang diberikan tahun 1992 itu berliku-liku dan ada alasan untuk menimbulkan kesulitan pengembaliannya. Proses pemberiannyapun sangat mencurigakan," kata Fatwa menegaskan. Bersama rekan-rekannya, Fatwa mempertanyakan pembayaran utang beras itu kepada tiga Wakil Menteri Kuba yang ditemui delegasi DPR, Jumat silam. Kecurigaan itu, misalnya, mengapa bantuan utang beras yang mestinya diproses lewat jalur pemerintah ke pemerintah (G to G) dilaksanakan oleh PT Berdikari di Hongkong yang salah satu pengelolanya masih keluarga mantan Kabulog. "Anehnya lagi, atas dasar apa PT Berdikari memberikan penjadwalan pembayaran utang beras Kuba itu sehingga jatuh temponya baru terjadi 13 tahun kemudian? Padahal, pemerintah Indonesia, khususnya Bulog, sangat membutuhkan uang itu segera untuk membantu korban banjir," kata politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) itu. Sementara itu, Dubes RI di Kuba, Haridadi Sudjono, menjelaskan, pada tahun 1992, kepada Kuba yang sedang menghadapi kesulitan ekonomi, pemerintah Indonesia memberikan bantuan pengiriman beras senilai 30 juta dlar (setara Rp 300 milyar).Kuba pernah membayar sedikit utang tersebut, yang kini tinggal 28 juta dolar. "Setelah itu macet," katanya. Sewaku delegasi DPR menagih utang tersebut, menurut Haridadi, para pejabat Kuba mengakui adanya utang tersebut, namun mereka tidak sanggup untuk membayar karena tidak punya uang. Lagipula, utang tersebut beserta bunganya telah dijadwalkan ulang pembayarannya pada Agustus 2001 lalu sehingga ditunda 13 tahun kemudian. Menurut pihak Pemerintah Kuba, kata Haridadi, urusan utang itu bukan urusan pemerintah karena transaksi dilakukan oleh pihak perusahaan Alimport Kuba dengan PT Berdikari di Hongkong."Jadi itu bukan urusannya Bulog, tapi PT Berdikari di Hongkong," kata Dubes yang ditempatkan di Havana sejak Oktober 1999 itu. Haridadi setuju jika pihak Berdikari dipanggil dan diminta pertanggungjawabannya. "Paling tidak, harus jelas asal usulnya, mengapa sampai begitu. Mereka harus bertanggungjawab," katanya. Seusai menemui para pejabat Kuba, delegasi DPR diundang Haridadi menghadiri jamuan makan bersama warga Indonesia di kediamannya, Wisma Duta,di kawasan elite Cubanacan. Berbeda dengan pertemuan delegasi DPR RI dengan warga Indonesia dan Tokyo yang didominasi para mahasiswa serta profesional, temu muka di Havana ini hanya dihadiri sekitar 30-an warga. Mereka terdiri dari keluarga dutabesar, staf kedutaan dan lima orang Indonesia yang sudah puluhan tahun hidup sebagai pelarian politik. Sebagian dari mereka adalah Gunardito (ahli metalurgi), Widodo Suwardjo (peneliti metalurgi), Salim (profesor bidang pengajaran bahasa Inggris), dan Ahmad Sungkawa Supraja (master bidang ekonomi). Rata-rata mereka sudah di atas 30 tahun berdiam di Kuba."Kami baru kembali ke Indonesia tahun silam, setelah 30 tahun lebih berada di Kuba," ujar Gunardito kepada Tempo News Room. Sejak jatuhnya rezim Orde Lama dan naiknya rezim Orde Baru pimpinan Suharto, sebagian warga Indonesia ini yang tengah berada di Kuba dicabut paspornya dan mereka tak bisa kembali lagi ke Indonesia. Namun di pemerintahan Kuba, mereka mendapat pekerjaan dan posisi yang layak, antara lain sebagai profesor di universitas, ahli dan peneliti bidang metalurgi. Supraja, misalnya, lulus sebagai master ekonomi dari Sekolah Tinggi Ekonomi Praha pada 1969. Da tidak pernah memperpanjang paspornya sejak pecah peristiwa G 30 S/PKI. "Paspor saya tidak pernah dicabut, tapi tidak diperpanjang. Saya kemudian pernah mencobanya di Konsulat RI di Mexico City pada 1992. Tak pernah ada jawaban, jadi saya tak pernah mencoba lagi," ujarnya. Pada Januari 2001, Supraja kembali ke Indonesia untuk pertama kalinya setelah hampir 30 tahun berada di Kuba. Dalam pertemuan di Wisma Duta, para mantan pelarian politik ini mempertanyakan nasib mereka yang belum berhasil juga memiliki paspor Indonesia kendati Indonesia sudah memiliki tiga presiden sejak jatuhnya rezim Soeharto. Menjawab pertanyaan Salim yang mewakili rekan-rekannya, Fatwa menyarankan mereka membuat surat dan menitipkannya kepada delegasi DPR RI yang akan kembali ke Indonesia pada Minggu 10 Februari." Kami akan menyampaikan surat-surat Anda sekalian ke Ibu Presiden Megawati," kata Fatwa.
(Hermien Y. Kleden)