Audit Etika Penyelenggara Negara
Senin, 4 November 2024 12:15 WIB
INFO NASIONAL - Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menggelar Focus Group Discussion tentang Memperkokoh Etika Penyelenggara Negara dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara, dengan tema Keteladanan Etika Politik, di Universitas Sumatera Utara, pada Jumat, 1 November 2024.
Salah satu yang disoroti FGD adalah terjadinya ethical deficit (defisit etika) penyelenggara negara yang “terlalu percaya diri atas kuasa yang dimiliki”, pamer harta kekayaan (flexing), dan “mentalitas dilayani” penguasa. Adanya fenomena elite intransigence (kebebalan kaum elit), sikap bebal kaum elit penguasa yang tidak takut, atau lebih tepatnya, tidak peduli—pada the court of public opinion atau ‘pengadilan opini publik’, yang semakin cerdas, kritis dan muak atas kemunafikan kaum elit yang tidak berkesudahan. Kondisi ini jika dibiarkan akan membuat negara gagal mensejahterakan rakyat karena cenderung menjadi institusi ektraktif yang dikuasai oleh sekelompok elit tertentu demi kepentingannya, nir kebijakan pro publik.
Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Johanes Haryatmoko menegaskan, hal ini menjadikan audit etika, pentingnya dilakukan, meliputi audit kepemimpinan, manajemen, keuangan, dan kompetensi. Menurut Johanes, etika publik yang berfokus pada tujuan pelayanan yang berkualitas, refleksi dalam menentukan pilihan sarana kebijakan publik sebagai alat evaluasi yang memperhitungkan konsekuensi etis, modalitas etika untuk menjembatani norma dan tindakan nyata. "Juga diperlukan kerja sama dengan Kementerian PAN RB dan lainnya, agar tidak hanya berhenti di BPIP," ujarnya.
Ethical deficit (defisit etika) dan kesalahan bernalar juga terjadi masyarakat. Ini disebabkan; etika tidak diajarkan di sekolah dan universitas, kurangnya rambu-rambu norma dan kebijakan yang mengajarkan etika kemanusiaan, justru materialisme menjadi panglima dalam penegakkan hukum sehingga membangun budaya masyarakat yang materialis, perilaku menyuap kepada pejabat untuk mendapatkan kemudahan, budaya permisif yang mengakibatkan kegagalan dalam bernalar pada pola pikir masyarakat ditambah kurangnya kesadaran diri sendiri serta lingkungan yang seakan membolehkan dan mengamini tindakan tersebut serta mengakarnya kebiasaan untuk diperlakukan istimewa dan didahulukan adalah salah satu contoh dalam kesalahan bernalar atas ‘esprit de corps’, “abdi negara” menjadi “abdi atasan”, seolah-olah atasan menjadi negara.
“Terjadi sesat nalar dikalangan masyarakat dan penyelenggara negara terkait dalam hal kekuasaan dan pejabat negara,” tegas salah satu narasumber, Dicky Sofjan dosen Universitas Gajah Mada.
Kebiasaan memberhalakan aturan-aturan formal seperti hukum, undang-undang, kode etik dan kode perilaku, serta kurikulum tidak mampu menjawab persoalan terjadinya kerapuhan etika. Padahal, yang lebih diutamakan adalah kesadaran setiap individu anggota masyarakat untuk menjunjung tinggi etika sebagai batasan.
Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Tata Negara Universitas Esa Unggul, Juanda, penyelenggara negara belum sepenuhnya menjadikan norma etika sebagai pedoman dan pengontrol, bahkan kerap mengabaikan dan melanggar ketika menjalankan fungsinya. "Hukum tidak bisa lepas dari penyelenggara negara. Tetapi, saat ini penyelenggara negara dengan perilakunya membuat ragu terkait penegakan hukum yang ada,” ujarnya.
Juanda melanjutkan, harus ada pemisahan antara norma dan hukum. Terlebih, sekarang ini hukum tidak mampu mewujudkan tujuannya dengan baik lantaran aparatur penegak hukum belum cukup memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum. Karena itu, dia memberikan solusi agar norma etik menjadi utama supaya hukum tidak gersang dan minus keadilan.
Juanda menambahkan, sudah saatnya merealisasikan gagasan pembentukan Dewan atau Mahkamah Etik Nasional secara mandiri dan otonom dalam semua bidang dan tingkatan. Di bidang hukum misalkan, menurut dia, internalisasi norma etika dalam tiga dimensi, yaitu pembentukan norma hukum, pelaksanaan norma hukum, dan penegakan norma hukum.
Salah satu rekomendasi FGD ini adalah pentingnya model kerja pro bono sebagai syarat seseorang layak untuk menjadi jabatan publik. Selain itu, memperkuat sistem audit terhadap pejabat publik sebagai upaya untuk mencegah konflik kepentingan, penghapusan budaya politik dinasti, tidak mencampuradukkan kekuasaan dengan kepentingan keluarga, tidak memberikan keuntungan politik pada keluarga selama berkuasa. Selin itu perlu mengedepankan etika publik yang berfokus pada tujuan ‘berkhidmat pada publik. Ada pula prinsip melayani bukan dilayani dan menanamkan kepekaan etika. Penting juga untuk memperkuat etika di institusi pendidikan.
Rekomendasi bagi BPIP adalah membangun nilai-nilai Pancasila sebagai panduan moral etik, mengkonkretkan nilai-nilai Pancasila, dan memperbaiki pemahaman kesadaran dalam bernalar dengan implementasi nilai-nilai Pancasila. (*)