TEMPO.CO, Jakarta - Calon gubernur nomor urut 3, Pramono Anung, berkeinginan untuk melanjutkan pembangunan jalur Mass Rapid Transit (MRT) hingga ke Jakarta International Stadion (JIS). Menurut Pramono, JIS harus mudah diakses melalui sarana transportasi publik, sebab akan banyak event yang digelar di lokasi itu.

Adapun alasan dari pembangunan MRT hingga melewati JIS, kata Pramono, berkaca dari negara-negara maju yang sudah menerapkan akses terowongan bawah tanah ke lokasi stadion utama mereka. Hal ini dianggap Pramono mirip dengan MRT.

"Belajar dari stadion di negara-negara yang sudah mapan, Old Trafford, Chelsea, Wembley dan sebagainya, itu selalu ada di bawahnya (terowongan) transportasi umum," ucap Pramono, dalam agenda diskusi di Taman Ismail Marzuki. Senin, 23 September 2024.

MRT yang melewati kawasan JIS, juga disebut Pramono bakal mempermudah mobilitas, terutama saat event besar digelar di kawasan itu. Pramono menggambarkan saat konser Bruno Mars beberapa pekan yang lalu, menurut dia, akses ke JIS lumayan macet dan menghabiskan banyak waktu di perjalanan.

"Sehingga JIS bisa diakses dengan transportasi umum, kapanpun dan dimanapun. Tentu mengenai kemudahan akses transportasi ini, kita belajar dari negara yang sudah lebih dulu maju," ucap Pramono.

Selain menginginkan MRT sampai ke JIS, Pramono turut menyinggung soal proyek pembangunan MRT menuju Ancol. "Kalau kemudian nanti MRT-nya sampai Ancol maka siapapun yang menjadi gubernur nanti harus menyambungkan dari MRT ujung di Ancol ke JIS ke bawah," kata Pramono.

Untuk saat ini, proyek pembangunan MRT Jakarta fase 2 masih berlangsung, yang terdiri dari dua tahap, yaitu MRT fase 2A dan fase 2B. Fase 2A terdiri dari tujuh stasiun bawah tanah, yaitu Thamrin, Monas, Harmoni, Sawah Besar, Mangga Besar, Glodok, dan Kota dengan total panjang jalur sekitar 5,8 kilometer.

Sedangkan fase 2B memiliki dua stasiun bawah tanah, yaitu Mangga Dua dan Ancol Marina dengan total panjang jalur sekitar 6 kilometer.

Pilihan editor: Media Asing Soroti Pembebasan Pilot Susi Air Philip Mark Mehrtens, Apa Kata Mereka?