Puncak Acara Dies Natalis Fisipol UGM ke-69, Akademisi: Indonesia Sedang Alami Krisis Politik
Reporter
Michelle Gabriela
Editor
S. Dian Andryanto
Senin, 23 September 2024 12:25 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pada acara puncak Dies ke-69 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM), akademisi merasa Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar yang dikenal sebagai polikrisis, di mana berbagai masalah seperti kemerosotan nilai-nilai demokrasi, disrupsi digital, krisis lingkungan, dan penurunan kesejahteraan ekonomi masyarakat muncul secara bersamaan.
Dalam situasi ini, akademisi di perguruan tinggi diharapkan dapat berperan aktif dalam membantu menyelesaikan polikrisis ini, terutama dengan menanamkan kembali nilai-nilai demokrasi yang mulai memudar di Indonesia.
Prof Suharko Guru Besar Sosiologi dari Fisipol UGM, dalam pidato ilmiahnya yang berjudul Urgensi Menavigasi Prakarsa-Prakarsa Universitas dalam Merespons Polikrisis dan Mempromosikan Demokrasi Inklusif, menekankan bahwa salah satu tugas penting akademisi saat ini adalah merangkul kembali demokrasi di berbagai sektor kehidupan.
Demokratisasi, menurutnya, berarti mengurangi konsentrasi kekuasaan dan memberikan individu kebebasan untuk menentukan nasib mereka sendiri. Suharko menegaskan bahwa universitas memiliki peran penting dalam merespons situasi ini, karena kampus merupakan ruang intelektual yang dapat mendorong inisiatif-inisiatif demokratis yang inklusif.
Dikutip dari laman ugm,ac.id, sejalan dengan itu, Arie Sudjito, Pakar Sosiologi Politik dari Fisipol UGM, juga menekankan pentingnya memperkuat demokrasi melalui apa yang disebutnya sebagai Politik Emansipasi. Arie berpendapat bahwa politik harus melibatkan masyarakat dari berbagai kalangan, terutama mereka yang seringkali tersingkirkan dari proses politik.
“Kita tidak pernah membicarakan etik dalam menu keseharian, ngomong etik hanya ketika sidang MK di keseharian dicuekin nggak ada perbincangan itu. Nah oleh karena itu politik emansipasi membawa isu-isu publik ke dalam praktek keseharian dan disitulah sebenarnya bagian dari pendidikan politik,” katanya.
Politik yang inklusif memungkinkan masyarakat untuk mengintegrasikan politik ke dalam kehidupan sehari-hari mereka, sehingga mereka tidak akan bersikap apatis ketika terjadi pelanggaran politik. Pernyataan ini disampaikan dalam seminar bertajuk Gerakan Politik Kewargaan Kampus untuk Merespon Regresi Demokrasi, Disrupsi Digital, dan Krisis Ekologi.
Ia merujuk pada Pemilu 2024 yang meskipun berhasil mengurangi polarisasi politik identitas, tetap membiarkan politik dinasti terus berlanjut dalam sistem tata negara. Menurutnya, isu etika jarang dibicarakan dalam kehidupan sehari-hari, dan biasanya baru menjadi perhatian saat ada persidangan di Mahkamah Konstitusi. Di luar itu, etika sering kali diabaikan. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya Politik Emansipasi yang membawa isu-isu publik ke dalam praktik sehari-hari, yang menurutnya merupakan bagian penting dari pendidikan politik yang sesungguhnya.
Seminar ini juga menghadirkan beberapa pembicara lain, termasuk politisi Rieke Diah Pitaloka., pakar hukum dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia, Bivitri Susanti, dan Milda Longgeita Pinem sebagai moderator.
Dekan Fisipol UGM, Wawan Mas’udi, menjelaskan bahwa tema Dies Natalis kali ini diambil untuk merefleksikan tantangan-tantangan yang dihadapi masyarakat saat ini. “Kami berupaya untuk merenungkan isu-isu tersebut dan mencari solusi yang dapat kami tawarkan,” katanya.
Sementara itu, Rektor UGM Prof Ova Emilia, dalam pidato sambutannya, menyampaikan selamat kepada Fisipol UGM atas peringatan Dies Natalis ke-69. Di usia yang ke-69 tahun ini, Ova Emilia memberikan apresiasi tinggi kepada Fisipol atas berbagai kontribusi yang telah diberikan kepada negara, khususnya dalam bidang kebijakan publik dan peningkatan jumlah mahasiswa pascasarjana. “Saya sangat mengapresiasi inovasi-inovasi yang dihasilkan oleh Fisipol dan berharap kontribusi mereka akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah mahasiswa pascasarjana yang berprestasi,” ujar Ova.
Pilihan Editor: Seruan Terbuka untuk Pratikno dan Ari Dwipayana, Fisipol UGM: Kami Kecewa, Kembalilah ke Demokrasi