TEMPO Interaktif,
Jakarta:Tindakan polisi Filipina menangkap Fathur Rohman Al Ghozy membuat nama pesantren Al Mukmin, di Ngruki, Sukoharjo, tiba-tiba menjadi terkenal. Pesantren yang disebut pernah menjadi tempat belajar Fathur Rohman dan dipimpin Abu Bakar Ba’asyir tersebut memiliki sistem pendidikan keras, dengan jam belajar lebih dari 18 jam sehari. Pesantren Al Mukmin lazim dikenal sebagai Pesantren Ngruki. Meskipun resmi berada di kecamatan Grogol, Sukoharjo, orang lebih sering menyebut terletak di Surakarta. Pimpinan Pondok Pesantren Al Mukmin, Ustadz Farid Ma'ruf, sebenarnya mengaku pesantren tersebut tidak jauh berbeda dengan pondok pesantren lainnya. Kalau pun ada perbedaan mungkin karena santrinya dididik agar menjadi seorang muslim yang tidak saja memahami syariat Islam tetapi juga mengamalkannya secara kaffah atau utuh. "Titik tekan pelajaran yang kami berikan di sini memang adalah mengenai aqidah. Kami mengajarkan bukan saja kepada para santri, tapi juga dalam pengajian-pengajian agar setiap muslim melaksanakan syariat Islam secara utuh. Tentu saja sesuai dengan kemampuannya,” katanya beberapa hari lalu. “Mungkin karena itu kami sering dicap sebagai kelompok ekstrem, fundamentalis, dan sebagainya." Ia menceritakan bahwa pesantren ini dimulai dengan kegiatan pengajian kuliah zuhur di Masjid Agung Surakarta. Membanjirnya jumlah jamaah, membuat para mubalig dan ustad kemudian bermaksud mengembangkan pengajian itu menjadi Madrasah Diniyah. Madrasah itu, terletak di Jalan Gading Kidul 72 A Solo juga menyediakan asrama, yang pada awalnya lebih diperuntukkan bagi anak yatim. "Yang menjadi perintis pondok itu adalah Ustad Abdullah Sungkar, Ustad Abubakar Ba'asyir, Ustad Abdullah Baraja, Ustad Yoyo Rosywadi, Ustad Abdul Kohar H Daeng Matase, dan Ustad Hasan Basri," jelas Ma'ruf, yang memimpin pondok hampir 16 tahun ini. Pesantren ini menjadi terkenal ketika pada 1978 dua orang pendirinya, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir, masuk penjara karena menolak Pancasila sebagai asas tunggal. Pesantren itu kemudian dibuka di lahan 2,5 hektare di dukuh Ngruki. Di sana pelajaran bagi para muridnya berlangsung secara spartan sejak pukul 3.30 WIB hingga 22.00 WIB. Para santri tidak tidak diperbolehkan membawa peralatan elektronik seperti televisi, radio, dan tape. Bahkan, mengenakan celana jins pun dilarang. Mereka juga dilarang keluyuran pada malam hari atau pada hari libur serta tidak diperbolehkan surat-menyurat, apalagi pada lain jenis. ''Tujuan mereka di sini kan untuk belajar dan bukan yang lain,” kata Farid. “Lagi pula, segala sesuatu yang berbau Barat itu lebih banyak mudarat dari pada manfaat.” Ketahanan fisik juga menjadi perhatian. Mereka mengajak para santri untuk melakukan perjalanan ke luar pondok setiap minggu. Santri muda paling tidak harus berjalan kaki sejauh 20 kilometer tanpa diperbolehkan jajan makanan di jalan. Pengging (Boyolali), Gunung Lawu, Gunung Bromo bahkan Jakarta pernah menjadi tujuan para santri. Acara hiking ini sempat menggegerkan, karena belasan santri meninggal akibat kecelakaan di Gunung Lawu. Bukan itu saja, kegiatan ini pernah dituding sebagai latihan perang sebelum mereka diberangkatkan ke Afganistan. "Kami ini sering dihubung-hubungkan dengan berbagai hal. Kegiatan itu kan cuma refreshing. Tidak ada itu kegiatan peran-perangan. Kecelakaan di Gunung Lawu itu kan terjadi pada tahun 1987, sedangkan konflik Afganistan terjadi di tahun 1990-1n, bagaimana mungkin kegiatan semacam itu dihubungkan dengan pengiriman pasukan segala," Farid Ma'ruf menjelaskan duduk perkaranya. Sikap pondok yang selalu mendukung setiap perjuangan umat Islam, mungkin yang membuat mereka sering kena getah. Termasuk ketika ada kabar bahwa Ngruki memiliki jaringan dengan Al Qaeda. "Kami tidak kenal Al Qaeda, namun kami ini punya prinsip, semua yang memperjuangkan islam dengan cara yang islam itu akan kita dukung, kita akan bantu, entah dengan doa apa dengan pengakuan-pengakuan. Cara islami itu adalah cara yang tidak diperbolehkan melakukan kekerasan," katanya. Demikian halnya dengan Al Ghozi, dengan enteng Ma'ruf mengatakan bahwa fitnah semacam itu sudah biasa dirasakan. Ia justru balik menuding bahwa kemungkinan ada pihak yang melakukan rekayasa untuk mendiskreditkan pesantrennya. Alasannya, Al Ghozi sudah meninggalkan pondok sejak tahun 1989 dan tidak memiliki hubungan apa-apa lagi. "Kalau Al Ghozy itu benar-benar yang pernah mondok di sini terlibat jaringan teroris, mestinya yang ditelusur itu dari yang terakhir. Setelah sekian tahun ini dia sudah lepas dari pondok, dimana dia setelah itu, dia sekolah di universitas apa?” katanya. “Kenapa tidak itu yang jadi sasaran. Mestinya muara terakhir, bukannya kita yang dijadikan sasaran?"
(Imron Rosyid-Tempo News Room)