Amnesty International Beberkan 6 Indikator Krisis Demokrasi di Indonesia
Reporter
Mhd Rio Alpin Pulungan
Editor
Amirullah
Kamis, 18 Juli 2024 21:21 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Amnesty International Indonesia membeberkan enam indikator yang menunjukkan telah terjadi krisis demokrasi di Indonesia. Indikator ini mencakup berbagai lini sosial, mulai dari menciutnya ruang sipil hingga menguatnya otoritarianisme.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, mengatakan indikator pertama adalah menguatnya politik represi. Musabab pertama ini, kata dia, lebih banyak berhubungan dengan militer.
"Sekarang tentara kalau revisi UU TNI disahkan, mereka bisa menangkap. Bukan hanya masuk ke dalam peranan politik, tapi juga bisa menangkap orang, dan juga bisa berbisnis lagi," kata Usman dalam pemaparan materinya pada pertemuan nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) bertema "Navigasi Masyarakat Sipil Menghadapi Krisis Demokrasi di Indonesia" di Jakarta Pusat, Kamis, 18 Juli 2024.
Usman mengatakan larangan berbisnis bagi TNI akan memperkuat kembali peran politik militer dalam mengamankan agenda-agenda pembangunan negara dan kepentingan swasta. Di saat yang sama, politik represi dilakukan pemerintah lewat pemidanaan, hukum-hukum yang berhubungan dengan siber, dan revisi UU penyiaran yang berpotensi memberangus pers.
Usman menyebut politik represi ini bukan warisan dari masa orde baru, melainkan pilihan politik yang disengaja pemerintah untuk mengamankan agenda pembangunan ekonomi. "Jadi sudah membentuk semacam neo-developmentalisme orde baru," katanya.
Menurut Usman, indikator pertama ini diperkuat dalam sejumlah survei yang menunjukkan skor kebebasan sipil Indonesia menurun. Amnesty mengutip data Survei Indikator Politik Indonesia pada 2022 yang menunjukkan 62,9 persen orang takut berpendapat, sementara survei LSI pada 2019 menunjukkan 43 persen orang enggan berpendapat politik.
Indikator kedua, kata Usman, adalah resentralisasi atau kembalinya sentralisasi pemerintah yang mengurangi otonomi daerah. Dia mencontohkan undang-undang khusus Papua yang tidak lagi memberikan otonomi khusus. "Semuanya kembali ke pemerintah pusat," ujarnya.
Resentralisasi juga merayap ke urusan investasi yang kini semua dikendalikan oleh pusat. Bahkan, Usman melanjutkan, urusan pengelolaan lingkungan sekarang dikendalikan oleh pemerintah pusat. "Sehingga resentralisasi ini memang membutuhkan pengamanan represi, pengamanan alat-alat koersif dari TNI, dan dari Polri," jelasnya.
Indikator ketiga adalah menurunnya peran partai politik sebagai pengontrol dan penyeimbang pemerintah. Usman menyoroti hampir tidak ada partai yang beroposisi secara tegas, termasuk PDIP yang terbelah antara kubu Hasto Kristiyanto yang dinilai keras dan kubu Puan Maharani yang cenderung lunak pada pemerintah.
Usman bahkan mengkhawatirkan RUU-RUU yang bermasalah saat ini akan disahkan DPR RI di bawah kepemimpinan anak Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri itu. "Puan berasal dari partai yang seharusnya mengambil pilihan oposisi," katanya.
Indikator keempat adalah oligopomedia yang menyebabkan politisasi dan monopoli informasi. Di antara ratusan media yang ada, kata Usman, pemiliknya adalah segelintir konglomerat. Dia menyebut nama pengusaha yang memiliki banyak stasiun televisi.
Akibat ooligopomedia, kata Usman, frekuensi dalam pemilu yang seharusnya dicurahkan untuk publik bergeser menjadi sangat partisan.
Indikator kelima, lanjut Usman, adalah politisasi penegakan hukum yang digunakan untuk mengendalikan oposisi. Amnesty mencatat penangkapan, penahanan, dan kriminalisasi sering kali digunakan untuk membungkam pemimpin daerah atau partai oposisi.
Pada periode kedua Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Amnesty mencatat sejumlah pelemahan lembaga-lembaga penegak hukum lewat politisasi penguasa. Lembaga negara yang independensinya merosot itu antara lain Polri, kejaksaan, KPK, Mahkamah Agung, hingga Mahkamah Konstitusi.
"Mahkamah Agung menjadi Mahkamah Adik dan Mahkamah Konstitusi menjadi Mahkamah Kakak," kata Usman. "Demokrasi tanpa penegak hukum enggak mungkin ada demokrasi."
Indikator terakhir adalah polarisasi masyarakat sipil yang makin tajam. Menurut Usman, terjadi regresi demokrasi dari bawah yang menjadi ancaman serius bagi demokrasi di Indonesia.
Dia mencontohkan sejumlah kelompok masyarakat sipil mengadopsi pandangan apa yang dia sebut sebagai "pluralisme represif", yakni tindakan labelisasi terhadap orang-orang kunci di KPK dengan tuduhan Taliban. Taliban mengacu pada kelompok muslim konservatif di Afganistan yang sering dikaitkan dengan radikalisme.
Selain itu, ada juga kelompok-kelompok masyarakat sipil yang gemar saling melaporkan menggunakan UU Informasi Teknologi dan Transaksi Elektronik atau ITE. "Ini menunjukkan sikap afirmatif penerapan taktik otoriter oleh negara terhadap lawan ideologis mereka," kata Usman.
Pilihan Editor: Soal Peluang Bakal Cawagub Lain untuk Dampingi Anies di Pilgub Jakarta