Kisah Dini, Bidan di Desa Terpencil Uzuzozo NTT yang Berantas Stunting dan Selamatkan Ibu Hamil
Reporter
Tempo.co
Editor
Devy Ernis
Senin, 8 Juli 2024 09:50 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Theresia Dwiaudina Sari Putri merupakan salah satu pemenang Semangat Astra Terpadu atau SATU Indonesia Awards 2023. Dia meraih penghargaan karena upayanya memberantas stunting dan membantu ibu hamil di desa terpencil, Uzuzozo, Nusa Tenggara Timur.
Menjadi bidan sebetulnya bukan keinginan Dini sapaan Theresia. Setelah lulus dari SMA 1 Ende pada 2013, Dini ingin mengambil kuliah bidang seni di salah satu kampus di NTT. Di lingkungan rumahnya, Dini saban kali mengajari anak-anak untuk bernyanyi di gereja. Maka itu, dia ingin bisa mendalami dunia seni musik dan tarik suara. Namun, orang tua Dini tak setuju. “Orang tua saya ingin saya kuliah di bidang kesehatan,” ujarnya.
Mengikuti arahan orang tuanya, Dini merantau ke Surabaya untuk kuliah. Dini awalnya ingin kuliah di Universitas Surabaya, namun karena biaya kuliah yang mahal, akhirnya dia memutuskan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Surabaya.
Penghasilan orang tuanya pas-pasan. Belum lagi, orang tuanya harus membiayai sekolah tiga adiknya yang masih kecil. Ayahnya, Kanis Sari merupakan staf pegawai negeri sipil di Kecamatan Nangapanda dan Ibunya, Herlin Kaleka adalah petani.
Lulus kuliah D3 Kebidanan dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Surabaya pada 2016, Dini memutuskan kembali ke kampung halamannya di Desa Kekandere, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Padahal, kala itu Dini sudah ditawari bekerja di tempat dia praktik kerja lapangan saat kuliah.
Dini memilih mengabdi di kampung halamannya, selain karena orang tuanya juga menginginkan Dini kembali. Ketika Theresia Kembali ke Nusa Tenggara Timur, dia melamar pekerjaan di puskesmas tempat tinggalnya di Kecamatan Nangapanda. Dini bekerja sebagai tenaga honorer yang tak menerima bayaran.
Dia hanya diberikan bayaran jika ada tugas-tugas tertentu seperti membantu program puskesmas melakukan asistensi ke desa-desa untuk pendataan. “Sebagai tenaga honorer di sana, saya tidak dibayar. Kalau ada pekerjaan tertentu baru dibayar. Itu juga seikhlasnya saja,” ujarnya.
Dini membantu memeriksa kesehatan ibu hamil di sejumlah desa di Kecamatan Nangapanda. Hingga akhirnya pada Maret 2017, Dini mengajukan diri sebagai bidan di salah satu desa, Uzuzozo. Tenaga kesehatan enggan masuk ke desa tersebut karena lokasi desa yang terpencil dengan medan yang cukup ekstrem.
Fasilitas Minim hingga Dibayar Rp 1 Juta
Namun, Dini justru terpanggil untuk menjadi bidan di desa tersebut. Di saat bersamaan, Kepala Desa Uzuzozo sedang mencari bidan untuk desanya. Akhirnya, Dini diterima menjadi bidan di Desa Uzuzozo. Dia dibayar Rp 1 juta per bulan menggunakan dana desa. Gajinya naik setiap tahun Rp 100 ribu dan saat ini dia dibayar Rp 1,5 juta per bulan.
“Saya tergerak ingin menjadi bidan di sini untuk membantu masyarakat karena fasilitas kesehatan di sini belum ada dan ditambah akses sulit ke faskes,” ujar Dini.
Fasilitas kesehatan di desa tersebut memang belum ada. Ada bangunan kecil yang dijadikan puskesmas desa, namun di dalamnya tak ada alat kesehatan pemeriksaan ibu hamil. Jarak antara desa Uzuzozoz ke Puskesmas Kecamatan Nangapanda sekitar 13-15 kilometer.