Gugat Nawadosa Rezim Jokowi Lewat Mahkamah Rakyat Luar Biasa, Ini Sejarahnya
Reporter
Savina Rizky Hamida
Editor
Dwi Arjanto
Rabu, 26 Juni 2024 18:08 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Rakyat Luar Biasa mengadakan Pengadilan Rakyat untuk menggugat nawadosa Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Lewat perwakilan Juru Bicara Mahkamah Rakyat Luar Biasa, Edy Kurniawan menyampaikan jika sidang rakyat ini dilaksanakan pada Selasa, 25 Juni 2024 kemarin. Nawadosa yang dimaksud merupakan sembilan dosa Jokowi selama sepuluh tahun menjabat.
Pengadilan disiarkan secara daring melalui laman mahkamahrakyat.id. Menurut keterangan tertulis yang diterima Tempo, sidang itu dilaksanakan di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat mulai pukul 10.00 WIB
Mahkamah Rakyat Luar Biasa ini mengundang Jokowi untuk hadir. Undangan disampaikan melalui surat pemanggilan lewat Sekretariat Negara dan secara daring ke media sosial milik pemerintah.
Mahkamah Rakyat Luar Biasa mengadili pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi dalam sidang yang berlangsung di Wisma Makara Universitas Indonesia atau UI, Depok, Jawa Barat pada Selasa, 25 Juni 2024. Dalam sidang People’s Tribunal atau Pengadilan Rakyat itu, para hakim menyatakan Jokowi telah terbukti melanggar sumpahnya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Pernyataan itu disampaikan Asfinawati yang bertugas sebagai Hakim Ketua Mahkamah Rakyat Luar Biasa. Saat membacakan putusan, Asfinawati sempat membahas sumpah yang dulu dibaca Jokowi saat pelantikan presiden.
Asal-usul Pengadilan Rakyat
Sebelum ini istilah sidang atau pengadilan rakyat bukan menjadi hal baru. Dikutip dari laman Peoples’ Tribunal On the Murder of Journalists, pengadilan rakyat merupakan pengadilan pendapat dari akar rumput yang dibentuk oleh masyarakat sipil. Konsep pengadilan ini mengundang masyarakat untuk bersaksi seperti yang pernah diselenggarakan oleh Russell Tribunal tahun 1966. Pengadilan Tribunal saat itu meminta pertanggungjawaban pemerintah AS atas kejahatan perang yang dilakukan di Vietnam. Kala itu akibat perang dingin negara dunia ketiga seperti Vietnam harus terkena imbas perebutan pengaruh oleh negara-negara besar.
Beberapa tokoh lainnya juga pernah terlibat sidang ini termasuk Jean Paul Sartre dan Leilo Basso. Mereka berpartisipasi dalam pengadilan tersebut dengan inisiatif yang juga menjadi awal dari tradisi panjang masyarakat sipil dalam mengorganisir Pengadilan Rakyat untuk isu-isu yang berkaitan dengan pemerintahan yang gagal memberikan keadilan. Kebanyakan Pengadilan Rakyat dibentuk guna menuntut pertanggungjawaban negara atas pelanggaran hukum internasional yang umumnya berupa pelanggaran HAM- dengan membangun kesadaran masyarakat dan menggunakan catatan bukti yang sah.
Tak hanya untuk keadilan rakyat secara hukum, Pengadilan Rakyat juga dapat memberikan peran penting dalam merangkul para korban HAM dan mencatat kisah-kisah mereka. Bentuk pengadilan ini tergantung pada tujuannya, beberapa pengadilan bahkan setara dengan truth commissions, sedangkan yang lain meniru prosedur pengadilan formal.
Dalam kasus yang terjadi di Indonesia saat ini Pengadilan Rakyat oleh Mahkamah Rakyat Luar Biasa ini dibentuk atas dasar kemarahan kepada Presiden Jokowi selama 10 tahun menjabat.
Dikutip dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pengadilan ini dibentuk sebagai salah satu mekanisme alternatif penyelesaian sengketa hukum akibat kurangnya gerak inisiatif pemerintah dalam memberikan ruang bagi demokrasi dan penegakan konstitusi dengan mengabaikan pelanggaran hak-hak masyarakat yang terus terjadi. Pengabaian ini bahkan dilakukan oleh lembaga-lembaga peradilan yang seharusnya menegakkan hukum.
Menurut YLBHI pemerintahan era Jokowi tidak mau membuka mata atas cacatnya yang melanggar hak asasi manusia. Hal ini membuat masyarakat sipil dan para korban yang memperjuangkan hak-hak mereka menjadi rentan dan tidak terlindungi. Menurut Zainal Arifin Mochtar yang mewakili YLBHI dalam artikel menyebutkan bahwa segala pelanggaran yang dilakukan pada era pemerintahan Jokowi membuktikan cacatnya demokrasi.
“Kita dihadapkan pada kekerasan, perampasan tanah, kebijakan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ambisius demi kebijakan nasional, namun melakukan penggusuran terhadap warga seperti di Wadas, Rempang, Pulau Obi dan Pulau Wawonii.” ujarnya.
SAVINA RIZKY HAMIDA | SULTAN ABDURRAHMAN | YLBHI
Pilihan editor: Mahkamah Rakyat Nyatakan Jokowi Terbukti Langgar Sumpah Rresiden Ri