PDIP Mendorong Revisi UU KPK, Ini Alasannya
Reporter
Tempo.co
Editor
Sapto Yunus
Jumat, 7 Juni 2024 12:01 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP mendorong revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. PDIP memandang revisi UU KPK perlu dilakukan seiring semakin tumbuh suburnya kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia saat ini.
Menurut Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri selalu ingin mewujudkan cita-cita supremasi hukum. Dalam hal korupsi, kata dia, Megawati adalah sosok yang membentuk KPK ketika menjadi Presiden Kelima RI periode 2001-2004.
"Sampai sekarang kita melihat nepotisme, korupsi, kolusi justru semakin merajalela. Maka sebagai sebuah ide dan gagasan, itu (revisi UU KPK) sangat membumi dan juga sangat visioner," kata Hasto kepada awak media di Sekolah Partai PDIP, Jakarta, Kamis, 6 Juni 2024 seperti dikutip Antara.
Hasto mengatakan Megawati memilih mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md sebagai calon wakil presiden pendamping Ganjar Pranowo pada Pilpres 2024 juga untuk menyelesaikan permasalahan KKN. Karena itu, PDIP akan mendukung apabila DPR mewacanakan untuk merevisi UU KPK.
Hasto juga menyinggung kasus dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015-2022 yang jumlah kerugiannya mencapai lebih dari Rp 300 triliun.
"Tambangnya aja Rp 300 triliun (kerugian negara), itu baru satu kasus kerugian negaranya. Nah, di situlah infrastruktur yang dibangun adalah penguatan KPK," ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul membuka peluang dilakukan revisi UU KPK ketika mengadakan rapat dengar pendapat dengan Dewan Pengawas KPK pada Rabu, 5 Juni 2024.
Bambang Pacul mengatakan UU KPK sudah tidak direvisi selama lima tahun. Apalagi, dia merasa banyak pihak yang mengkritisi UU KPK hasil revisi pada 2019.
Eks Pegawai Gugat UU KPK ke Mahkamah Konstitusi
Sebelumnya, sebanyak 12 mantan pegawai KPK mengajukan uji materiil Undang-Undang KPK ke Mahkamah Konstitusi atau MK pada Selasa, 28 Mei 2024. Pada hari itu, sekitar delapan orang dari IM57+ Institute menyambangi Gedung MK. Mereka menyerahkan berkas permohonan uji materiil UU KPK sekitar pukul 09.00.
<!--more-->
Dalam perkara ini, ada 12 mantan pegawai KPK yang mengajukan diri sebagai pemohon. Mereka adalah Novel Baswedan, M. Praswad Nugraha, Harun Al Rasyid, Budi Agung N., Andre Dedy Nainggolan, Herbert Nababan, Andu Abd Rachman, Rizka Anungnata, Juliandi Tigor Simanjuntak, March Falentino, Farid Gagantika, dan Walgy Gagantika.
"Hari ini kami sudah menyerahkan berkas gugatan ke MK terkait ambang batas umur (pimpinan KPK)," kata Ketua IM57+ Institute, M. Praswad Nugraha, saat ditemui di Gedung MK, Jakarta Pusat.
Praswad melanjutkan, perubahan Undang-undang KPK pada 2019 membuat batas usia pimpinan lembaga antirasuah ini menjadi 50 tahun.
Sehingga, beberapa anggota IM57+ Institute yang juga mantan pegawai KPK tak bisa mendaftar sebagai pimpinan KPK. Karena itu, mereka meminta batas usia pimpinan KPK dikembalikan seperti semula, yakni 40 tahun.
"Kami harap ini bisa dikabulkan MK dan dan temen-teman lainnya yang berada di IM57+ dan sudah cukup umur—karena umurnya diutak-atik dengan perubahan UU—jadi bisa melanjutkan proses pendaftaran sebagai pimpinan KPK," ujar Praswad.
Mantan penyidik KPK Novel Baswedan juga mengungkapkan hal serupa. Dia menegaskan pokok permohonan ini adalah soal batas usia pimpinan KPK.
"Kita tentu paham bagaimana kondisi KPK hari ini," ujar Novel. "Bahkan, permasalahannya justru di level pimpinan KPK.”
Novel menuturkan keprihatinan inilah yang membuat mereka mengajukan uji materiil terhadap UU KPK. Dia menyebut, sebagai bagian dari masyarakat, pihaknya ingin lebih banyak berkontribusi untuk mendukung lembaga antirasuah tersebut dengan berkontestasi menjadi calon pimpinan KPK.
AMELIA RAHIMA SARI | ANTARA
Pilihan editor: Cak Imin Buka Pintu bagi Anies Baswedan atau Kaesang Daftar Lewat PKB di Pilgub Jakarta