Kerusuhan 13 Mei 1969 Terjadi di Malaysia dan Penjarahan 13 Mei 1998 di Indonesia Jadi Kenangan Kelam
Reporter
Hendrik Khoirul Muhid
Editor
S. Dian Andryanto
Senin, 13 Mei 2024 19:40 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia dan Malaysia punya kenangan kelam pada kejadian tanggal 13 Mei, meski di tahun berbeda. Di Indonesia, 13 Mei diperingati sebagai hari kerusuhan rasial terhadap warga Tionghoa yang terjadi pada 1998. Sementara di Malaysia, pada 13 Mei juga diperingati sebagai hari menyedihkan karena terjadi kerusuhan antara etnis Cina dengan Melayu pada 1969.
Seperti apa kisah kelam 13 Mei di Malaysia dan Indonesia ini?
Malapetaka 13 Mei di Malaysia
Disadur dari laporan Majalah Tempo edisi Sabtu, 7 November 1987, bentrokan antar “kaum” atau golongan – khususnya Cina dan Melayu – di Malaysia kala itu memang sering terjadi. Tapi yang paling mengerikan meledak pada 13 Mei 1969. Peristiwa itu menewaskan 196 jiwa, sementra 1.019 orang dinyatakan hilang dan 9.143 orang dibekap dalam penjara.
Kejadian berawal di Kuala Lumpur, Malaysia. Hari Sabtu, 10 Mei 1969 itu, lebih dari 500 ribu penduduk memadati tempat-tempat pemungutan suara, untuk memilih para calon dari 7 partai yang akan menduduki 144 kursi di Dewan Ra’ayat. Di hari penghitungan suara keesokan harinya, sekelompok pendukung partai oposisi, DAP dan Gerakan, merayakan kemenangannya.
Sebetulnya ketika itu belum dipastikan mereka unggul suara dari Barisan Nasional, tapi angin kemenangan memang sudah terasa. Sambil melambaikan bendera partai dan membunyikan klakson kendaraan, mereka berparade di jalan-jalan utama Kuala Lumpur. Mereka, dari golongan Cina, turut meneriakkan yel-yel yang panas ke arah golongan Melayu.
Barisan Nasional tak tinggal diam. Pada 13 Mei 1969, rencana parade tandingan – dipimpin Menteri Besar Selangor, Dato Harun bin Idris – disusun. Ratusan pendukung Barisan Nasionai berduyun-duyun menuju ke kediaman Ketua UMNO Selangor itu. Namun, kabar buruk datang dari Kuala Lumpur. Serombongan pemuda Melayu yang akan bergabung dengan mereka dilempari botol dan batu oleh kelompok Cina dan India di Setapak utara Malaysia.
Mendengar hal itu, kelompok Barisan Nasional yang sudah berkumpul di Selangor panas hati. Sambil membawa batu, pisau, bom api, pipa, dan bambu runcing, mereka menjalar ke Jalan Raja Muda dan Jalan Hale, menuju perkampungan Cina. Bentrokan rasial pun meledak di seantero Malaysia, ketika serombongan pemuda itu dihadang orang-orang Cina bersenjata dari kawasan Chow Kit, Kuala Lumpur.
Kaum Melayu, mengenakan ikat kepala merah atau putih, menjadi beringas dan membantai penduduk Cina serta membakar tempat tinggalnya. Sementara itu, pihak golongan Cina bersenjatakan pistol dan senjata laras pendek, mendatangi rumah-rumah Melayu dan bertindak sama. Malahan puluhan penonton tak berdosa kedapatan mati di tempat duduk beberapa gedung bioskop, malam itu.
“Kuala Lumpur menjadi lautan api,” tulis Teunku Abdul Rahman, ketika “Bapak Bangsa” Malaysia ini (waktu itu Perdana Menteri) mengenang kejadian tragis itu dalam sebuah bukunya.
Walau jam malam diberlakukan pada pukul 20.00, kerusuhan komunal secara sporadis terus berlangsung di berbagai tempat. Situasi yang semakin memburuk menyebabkan Diputi Perdana Menteri Tun Abdul Razak menurunkan sekitar 2.000 personel militer plus 3.600 polisi ke Kampong Bahru dan Chow Kit pada pukul 22.00. Tanpa koordinasi yang rapi – hanya berbekal “perintah tembak”, tentara yang umumnya berasal dari Serawak menembak secara membabi buta siapa saja yang tampak dalam kegelapan malam di Kuala Lumpur. Korban jiwa pun kian meningkat dalam beberapa hari.
Kerusuhan rasial yang berkepanjangan itu akhirnya dibendung dengan mengumumkan negara dalam keadaan darurat. Sebuah komite khusus beranggota 8 orang dibentuk Tunku Abdul Rahman. Dengan Tun Abdul Razak sebagai ketuanya, komit bernama National Operations Council (NOC) diberi wewenang menangani kerusuhan rasial lewat dekrit yang dikeluarkan. Serangkaian penangkapan dan pembekuan media massa dilakukan untuk memadamkan panasnya situasi politik dalam negeri.
Seminggu kemudian, jam malam di beberapa daerah dicabut dan media massa diizinkan terbit melalui sensor ketat. Kegiatan sehari-hari pun berangur pulih di antara beberapa penangkapan masal yang masih dilakukan pihak pemerintah. Sementara itu, NOC mengeluarkan dua keputusan penting. Yakni: “Essential Goodwill Regulations” (politik) dan “New Economic Strategy” (ekonomi), yang masing-masing bertujuan mewujudkan persatuan multirasial dan “memberi kesan baru dalam rencana pembangunan Malaysia”.
Selanjutnya: Kerusuhan Mei 1998 di Indonesia
<!--more-->
Kerusuhan Mei 1998 jadi sejarah kelam bagi bangsa Indonesia, pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM secara besar-besaran terjadi di kala itu. Satu di antaranya yaitu Tragedi Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998, sehari setelahnya, 13 Mei sampai 15 Mei 1998 menyusul peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM lainnya yang dikenal dengan Kerusuhan Mei 1998.
Pada rentang 13-15 Mei, 23 tahun silam, Indonesia bergejolak akibat kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa di sejumlah kota, antara lain Jakarta, Medan, Palembang, Solo, Surabaya serta beberapa kota lainnya. Koordinator Investigasi dan Pendataan Tim Relawan, Sri Palupi menyimpulkan Kerusuhan Mei 1998 disebabkan oleh sentimen anti-Tionghoa yang telah lama berlangsung yang kemudian dimanfaatkan untuk memicu kericuhan akibat krisis moneter.
Saat itu beredar tuduhan bahwa etnis Tionghoa penyebab krisis moneter. Provokasi ini disebarkan oleh beberapa jenderal yang tidak memiliki hubungan dengan perekonomian. Tuduhan tersebut didasarkan pada informasi palsu bahwa etnis Tionghoa melarikan uang rakyat ke luar negeri dan sengaja menimbun sembako sehingga rakyat Indonesia kelaparan dan sengsara. Secara materi, perekonomian etnis Tionghoa yang stabil dan strategis, serta dinilai lebih sukses, semakin memperkuat kebencian masyarakat pribumi.
Kebencian dan kecurigaan seperti hawa pengap yang mengambang di udara. Ketegangan semakin menjadi ditambah dengan beredarnya desus etnis Tionghoa merupakan bagian dari rezim Soekarno. Mereka dituding menganut paham komunis yang bertentangan dengan paham yang dianut masyarakat mayoritas. Sentimen semakin memposisikan etnis Tionghoa sebagai dislike minority, kaum minoritas yang tidak disukai.
Pada kerusuhan ini banyak toko dan perusahaan dihancurkan oleh amukan massa, terutama properti milik warga Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Medan, dan Surakarta. Amukan massa ini juga membuat para pemilik toko di kota-kota tersebut ketakutan dan menulisi muka toko mereka dengan tulisan “Milik pribumi” atau “Pro-reformasi” lantaran penyerang hanya fokus ke orang-orang Tionghoa.
Kerusuhan Mei 1998 menjadi peristiwa memilukan bagi etnis Tionghoa di Indonesia, toko-toko dan rumah mereka dijarah, dibakar dan bahkan dihancurkan. Lebih dari itu, pelanggaran HAM berat terhadap wanita Tionghoa juga terjadi, mereka diperkosa, dilecehkan, dianiaya dan dibunuh. Ironisnya, selain dilakukan di rumah korban, pemerkosaan juga dilakukan di tempat-tempat umum, tidak peduli bahkan di depan orang lain.
Kejadian tersebut menyisakan bekas trauma psikis yang amat berat bagi korban yang masih hidup, beberapa di antaranya bahkan memiliki mengakhiri hidup karena tidak sanggup menanggung beban trauma, ada yang menjadi gila, diusir oleh keluarga, serta menghilangkan diri keluar negeri dengan mengganti identitas. Total korban tewas dalam kerusuhan Mei 1998 sekitar 1.188 orang, dan setidaknya 85 wanita dilaporkan mengalami pelecehan seksual.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | MAJALAH TEMPO
Pilihan Editor: Kerusuhan Mei 1998: Sejarah Kelam Pelanggaran HAM di Indonesia