MK Tekankan Perlunya Penyempurnaan UU Pemilu, Ini Reaksi DPR
Reporter
Antara
Editor
Sapto Yunus
Rabu, 24 April 2024 22:57 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo menekankan perlunya penyempurnaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau UU Pemilu. Suhartoyo menyampaikan hal tersebut saat membacakan putusan MK atas perkara sengketa Pilpres 2024 pada Senin, 22 April.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menyatakan terdapat beberapa kelemahan dalam UU Pemilu sehingga menimbulkan kebuntuan dalam upaya penindakan terhadap pelanggaran pemilu. Suhartoyo mengatakan UU Pemilu belum memberikan pengaturan terkait dengan kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kampanye yang dilakukan sebelum dan setelah masa kampanye dimulai.
Dia juga mengatakan terdapat beberapa kelemahan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dan Peraturan Bawaslu.
"Sehingga pada akhirnya menimbulkan kebuntuan bagi penyelenggara pemilu, khususnya bagi Bawaslu, dalam upaya penindakan terhadap pelanggaran pemilu," kata Suhartoyo.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Muhaimin Iskandar mengatakan lembaganya berkomitmen menyempurnakan Undang-Undang Pemilu.
"Pasti. Setiap lima tahun kami pasti menyempurnakan seluruh kelemahan dari Undang-Undang Pemilu kita," kata Muhaimin di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Jakarta, Rabu, 24 April 2024.
Tidak Hanya karena Faktor Pemilu 2024
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia mengatakan revisi UU Pemilu merupakan sebuah keniscayaan untuk penyempurnaan, sehingga tidak dilakukan hanya karena faktor pemilu 2024.
"Terlepas dari apa pun hasil pemilu kemarin, sebagai sebuah bangsa yang ingin terus maju dan berkembang, memang kita harus senantiasa melakukan evaluasi dan penyempurnaan pada sistem politik, termasuk pemilu kita," kata Doli di Jakarta, Rabu, 24 April.
Politikus Partai Golkar itu mengatakan pihaknya pada masa bakti DPR periode 2019-2024 telah mengusulkan dilakukannya revisi terhadap UU Pemilu. “Kami di Komisi II pada awal periode ini sudah mengusulkan agar adanya penyempurnaan UU Pemilu,” ujarnya.
Untuk itu, Doli berharap DPR periode 2024-2029 mendatang mampu melanjutkan penyempurnaan revisi UU Pemilu itu.
<!--more-->
“Pada awal periode pemerintahan baru nanti merupakan momentum untuk kembali melanjutkan dan mengkonkretkan penyempurnaan itu,” kata dia.
Revisi UU Pemilu Mencakup Tiga Hal
Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR Yanuar Prihatin, setidaknya revisi UU Pemilu harus mencakup tiga hal. Pertama, UU Pemilu harus direvisi menyangkut aturan teknis yang menegaskan ulang jadwal cuti khusus untuk para pejabat saat ingin kampanye politik, durasi waktu atau jumlah harinya harus jelas dan jadwal cuti wajib dilaporkan ke KPU dan Bawaslu secara resmi.
Menurut dia, sorotan MK agar perjalanan dinas pejabat negara diatur ulang supaya tidak berhimpitan dengan jadwal kampanye itu layak ditindaklanjuti.
"Saya kira sangat penting untuk mengatur ulang kampanye para pejabat negara setingkat presiden/wakil presiden dan menteri ini. Selama ini mereka sadar atau tidak sadar sering kali menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat untuk kepentingan elektoral," kata Yanuar dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, 23 April.
Kedua, kata dia, sanksi yang berat atas pelanggaran tersebut harus jelas, terukur, dan nyata. Sanksi menjadi kewenangan Bawaslu dan wajib dipatuhi oleh pejabat yang bersangkutan jika terbukti melanggar.
"Selama ini, tanpa sanksi yang berat dan jelas, presiden dan para menteri bisa seenaknya mempengaruhi pilihan politik rakyat dengan menggunakan fasilitas negara dan memanfaatkan kewenangannya secara terbuka untuk tujuan elektoral," ujar politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini.
Ketiga, pembagian bantuan sosial atau bansos, beasiswa, sertifikat tanah, uang, dan peresmian-peresmian sarana atau prasarana yang berdampak pada masyarakat harus diatur ulang waktunya agar tidak tumpang tindih pada masa-masa kampanye.
"Tentu saja masih banyak aspek lainnya yang harus direvisi dalam UU Pemilu, termasuk lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku politik uang dalam pemilu. Fenomena ini harus dicari akar masalahnya agar konstruksi UU Pemilu mampu menjawab soal ini," tuturnya.
Dia menekankan fasilitas negara dan program-program pemerintah yang instan, seperti bansos dan sejenisnya, tidak boleh lagi disalahgunakan untuk tujuan politik praktis.
<!--more-->
"Pemilu 2024 memberikan pelajaran sangat berharga bahwa pemilu yang tidak jujur dan tidak adil akan melahirkan kecurangan yang terus berulang karena penyalahgunaan wewenang ini," ucapnya.
Aturan Soal Kampanye Harus Diperjelas
Adapun Anggota Komisi II DPR Guspardi Gaus sepakat UU Pemilu perlu dilakukan revisi sebagaimana yang terdapat dalam pertimbangan putusan MK.
"Pendapat yang diberikan MK bahwa UU Pemilu belum memberikan pengaturan terkait dengan kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kampanye yang dilakukan sebelum dan setelah masa kampanye dimulai memang harus diperjelas dan dimasukkan secara rinci di dalam UU Pemilu," kata Guspardi pada Selasa, 23 April.
Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengatakan revisi UU Pemilu adalah sebuah keniscayaan untuk perbaikan dan penyempurnaan.
"Apalagi Pemilu 2024 yang dinilai dan dirasakan banyak kalangan berjalan dengan penuh kontroversi dan menimbulkan spekulasi terkait dugaan berbagai pelanggaran, pengerahan dukungan dari ASN (aparatur sipil negara) kepada paslon tertentu, makin terang-terangannya politik uang, dan lain sebagainya," ujarnya.
Guspardi mendorong agar anggota DPR periode 2024-2029 merevisi UU Pemilu untuk menyempurnakan dan menutup celah kekurangan bagi pelanggaran pemilu yang tidak bisa ditindak secara hukum maupun administratif.
"Dan bisa diatur secara lebih rigid untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum terhadap pelanggaran pemilu," kata anggota Badan Legislasi DPR itu.
Pilihan editor: Respons Parpol di Luar KIM Soal Peluang Gabung ke Koalisi Pemerintahan Prabowo-Gibran