Pro-Kontra atas Keputusan TNI Kembali Gunakan Istilah OPM
Reporter
Tempo.co
Editor
Sapto Yunus
Senin, 15 April 2024 10:12 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengatakan TNI kembali menggunakan nama Organisasi Papua Merdeka atau OPM untuk kelompok separatis teroris (KST) dan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua.
Menurut Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayor Jenderal Nugraha Gumilar, tujuan perubahan istilah tersebut untuk menegaskan OPM adalah tentara atau kombatan. Menurut hukum humaniter, kata dia, kombatan berhak menjadi korban dalam konflik bersenjata.
Perubahan sebutan KST dan KKB menjadi OPM tersebut mendapat respons dari berbagai pihak, baik yang setuju maupun tidak setuju.
1. Ketua MPR Bambang Soesatyo: Tak Boleh Ada Toleransi terhadap OPM
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo mendukung langkah Panglima TNI dalam melakukan tindakan tegas untuk memberantas OPM yang sebelumnya disebut KKB.
"Tidak boleh ada lagi toleransi terhadap para kelompok separatis, teroris ataupun OPM untuk meneror serta melakukan aksi kejahatan hingga menimbulkan korban jiwa," kata pria yang akrab disapa Bamsoet itu dalam keterangan pers pada Sabtu, 13 April 2024.
Dia menyebutkan aksi OPM sangat membahayakan lantaran kerap menyerang warga Papua, dari masyarakat sipil, guru, tenaga kesehatan, hingga personel TNI dan Polri. Dia menilai tindakan tegas TNI dan Polri harus ditunjukkan untuk melindungi masyarakat di sana.
"Tindakan tegas pun perlu dilakukan aparat demi menunjukkan bahwa negara tidak akan kalah dengan kelompok separatis yang skalanya lebih kecil dari TNI dan Polri itu," ujarnya.
Bamsoet juga mendukung pemerintah melalui pendekatan non-senjata untuk meredam aksi anarkistis OPM. Pendekatan itu bisa dilakukan melalui tokoh agama, tokoh adat, dan kepala daerah setempat.
Dengan upaya penindakan tegas dan pendekatan humanis yang beriringan, Bamsoet berharap aksi OPM yang meresahkan bisa secepatnya diredam.
2. Anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin: Istilah OPM Lebih Realistis tapi Berdampak Politis
Anggota Komisi I DPR Mayor Jenderal TNI (purnawirawan) TB Hasanuddin mengatakan penyebutan KKB atau KST menjadi OPM lebih realistis. Namun perubahan istilah itu akan berdampak politis bagi Indonesia serta berpengaruh pada cara menyelesaikan konflik di Papua.
Dia mengingatkan penyebutan OPM bisa berdampak negatif lantaran kurang menguntungkan bagi Indonesia di luar negeri. Sehingga, kata dia, hal ini memerlukan penanganan lebih serius terutama oleh para diplomat RI.
<!--more-->
"Perubahan penyebutan istilah KKB menjadi OPM, menurut hemat saya, memiliki dampak politis. Misalnya, istilah OPM di luar negeri itu kurang menguntungkan karena dapat menimbulkan simpati dari beberapa negara terhadap perjuangan minoritas yang sedang dilakukan oleh oknum bersenjata tersebut," kata Hasanuddin kepada Tempo pada Ahad, 14 April 2024.
Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP itu menyebut, selama ini, penyebutan KKB atau KST tidak sesuai dengan realitas. Sebab tindakan yang dilakukan kelompok ini bukan hanya kriminal dan teror, tetapi justru makar dan melakukan gerakan separatis terhadap NKRI.
Dia mengkritik perubahan istilah seharusnya bukan hanya ditentukan oleh Panglima TNI, tetapi harus mendapat kesepakatan dari semua lembaga negara yang terlibat dalam penanganan konflik di Papua.
Pada era Soeharto, mereka disebut OPM, kemudian pada era reformasi mereka menjadi KKB dan terakhir dilabeli teroris. Menurut Hasanuddin, semua perubahan ini diatur dengan keputusan pemerintah dan bukan hanya ditentukan oleh Panglima TNI sendiri.
3. KontraS: Bisa Berdampak pada Keamanan Masyarakat Sipil di Papua
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS mendesak pemerintah memitigasi dampak dari perubahan istilah KKB di Papua menjadi OPM. Menurut KontraS, perubahan istilah ini bisa berdampak pada keamanan masyarakat sipil di Papua.
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya Saputra, mengatakan perubahan nama itu harus diikuti dengan jaminan perlindungan dari negara bagi masyarakat di Papua.
"Terutama untuk menjaga supaya tidak ada korban yang kembali berjatuhan," ucap Dimas saat dihubungi Tempo pada Jumat, 12 April 2024.
Dimas menjelaskan, ketika suatu negara menyebut suatu kelompok sebagai tentara pemberontak, ada kewajiban mematuhi sejumlah aturan dalam hukum internasional.
Pertama, negara harus mengumumkan mengenai kondisi konflik bersenjata yang terjadi di Papua. Negara harus memberikan sinyal kepada warga sipil dan organisasi internasional untuk dapat melakukan pengawasan terhadap berlangsungnya konflik tersebut.
Kedua, hukum internasional juga mengatur senjata atau alat yang digunakan dalam konflik bersenjata. Penggunaan senjata yang tidak manusiawi dan berpotensi besar mengakibatkan dampak yang besar, tidak boleh dipakai.
<!--more-->
Ketiga, pemerintah harus melakukan mitigasi terhadap warga sipil. Pihak-pihak yang berkonflik tidak boleh menyerang warga sipil, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, dan fasilitas umum lainnya seperti gedung gereja.
Hukum humaniter internasional yang akan berlaku, dan TNI menjadi ujung tombaknya,” kata Veronica.
4. Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf: Tidak akan Menyelesaikan Konflik di Papua
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf mengatakan penggantian terminologi KKB menjadi OPM justru bisa membuat masalah baru di Papua. Perubahan cara menyebut kelompok bersenjata di Papua itu, kata dia, tidak menyentuh inti dari konflik yang ada.
“Penggunaan istilah OPM kembali di Papua sesungguhnya tidak akan menyelesaikan masalah dan konflik di Papua,” kata Al Araf saat dihubungi pada Kamis, 11 April 2024.
Dia mengatakan penggantian itu malah bisa memunculkan stigma buruk kepada masyarakat Papua. Selain itu, kata dia, penyebutan OPM memiliki kecenderungan pendekatan operasi militer dalam menghadapi konflik.
Padahal, Al Araf menilai pemerintah dan TNI seharusnya mengedepankan pendekatan yang lebih dialogis dalam menyelesaikan konflik Papua. “Bukan dengan penamaan istilah OPM dan operasi militer,” ucap dia.
Menurut dia, pemerintah Indonesia sudah beberapa kali mengubah pendekatan mereka terhadap konflik di Papua. Beberapa nama yang digunakan pemerintah Indonesia di antaranya adalah OPM, KKB, organisasi teroris, hingga orang tak dikenal (OTK).
“Perubahan nama itu sesungguhnya hanya upaya pemerintah dalam meningkatkan eskalasi pendekatan penyelesaian (konflik), dari pendekatan operasi militer, berubah penegakan hukum, berubah operasi teroris, dan berubah lagi sekarang operasi militer,” ujar Al Araf.
Dibanding mengganti istilah KKB menjadi OPM, Al Araf mengatakan pemerintah seharusnya berfokus memikirkan cara penyelesaian konflik secara damai dan melalui dialog. Dia mengimbau semua pihak yang terlibat dalam konflik Papua mulai mendorong gencatan senjata dan maju ke meja perundingan.
YOHANES MAHARSO JOHARSOYO | EKA YUDHA SAPUTRA | SULTAN ABDURRAHMAN | ANTARA
Pilihan editor: Beda Sikap PDIP dan Relawan Jokowi Soal Wacana Pertemuan dengan Megawati