Bolehkan Capres-Cawapres Mengundurkan Diri dan Apa Konsekuensinya?
Reporter
Hendrik Khoirul Muhid
Editor
Nurhadi
Jumat, 9 Februari 2024 08:35 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK, Busyro Muqoddas, meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk memerintahkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, agar mundur sebagai calon wakil presiden (cawapres).
Permintaan tersebut buntut putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) soal komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara Pemilu.
“Bagaimana ada satu tekanan massal supaya Presiden Jokowi mempertimbangkan dengan seksama,” kata Busyro kepada wartawan di Kampus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Senin, 5 Desember 2024.
Lantas, bolehkah Gibran atau capres maupun cawapres mengundurkan diri dan apa konsekuensinya?
Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau UU Pemilu, capres dan cawapres yang telah ditetapkan sebagai pasangan calon tetap ternyata dilarang mengundurkan diri. Adapun Gibran resmi ditetapkan sebagai cawapres peserta Pemilu 2024 bersamaan dengan penetapan kandidat lain pada 13 November 2023.
“Salah seorang dari bakal pasangan calon atau bakal pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf f dilarang mengundurkan diri terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPU,” bunyi Pasal 236 ayat (2) UU Pemilu.
Tak hanya itu, dalam ayat (3) dan (4) disebutkan partai politik maupun koalisi yang menarik kandidatnya baik capres-cawapres sekaligus atau hanya salah seorang saja, partai politik maupun koalisi tersebut tidak dapat mengusulkan pengganti. Konsekuensi yang sama juga berlaku kepada partai politik atau koalisi pengusung apabila capres-cawapres atau hanya salah seorang saja menyatakan mundur.
Pelarangan pengunduran diri ini juga dibarengi dengan sanksi pidana, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 552 ayat (1) UU Pemilu. Sanksi yang diberikan bagi kandidat presiden maupun wakil presiden yang mengundurkan diri sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran pertama adalah penjara maksimal lima tahun. Sedangkan pidana denda yang dijatuhkan sebesar paling banyak hingga Rp 50 miliar.
“Setiap calon presiden atau wakil presiden yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah penetapan calon presiden dan wakil presiden sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran pertama, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah),” bunyi pasal tersebut.
Kuantitas sanksi bahkan bertambah apabila yang bersangkutan mengundurkan diri setelah pemungutan suara putaran pertama sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran kedua. Menurut Pasal 553 ayat (1), sanksi pidana yang dijatuhkan adalah penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak hingga dua kali lipat alias Rp 100 miliar.
Selain kepada kandidat, sanksi pidana juga dijatuhkan kepada pimpinan partai politik atau koalisi pengusung yang dengan sengaja menarik kandidatnya sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran pertama. Pidana yang dijatuhkan yaitu penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 50 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 552 ayat (2) UU Pemilu.
“Pimpinan Partai Politik atau gabungan pimpinan Partai Politik yang dengan sengaja menarik calonnya dan/atau Pasangan Calon yang telah ditetapkan oleh KPU sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran pertama, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah),” bunyi pasal tersebut.
Demikian juga dengan kuantitas sanksi pidana bertambah kepada pimpinan partai politik maupun koalisi yang dengan sengaja menarik calonnya dan atau pasangan calon yang telah ditetapkan oleh KPU sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran kedua. Pidana penjara maksimal jadi 6 tahun, sedangkan hukuman denda menjadi Rp 100 miliar.
“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah),” bunyi Pasal 553 ayat (2).
ANDIKA DWI | RIZKY DEWI AYU
Pilihan Editor: Mahasiswa Aliansi Sodara Gelar Aksi di Kantor Gibran, Kritik Jokowi dari Bansos hingga Politik Dinasti