Banyak Alasan Daud Beureueh Lakukan Pemberontakan kepada Sukarno, Pejuang yang Terpinggirkan

Sabtu, 16 September 2023 19:09 WIB

Daud Beureueh. Foto : wikipedia

TEMPO.CO, Jakarta - Pada 17 September 1899, adalah hari kelahiran Daud Beureueh, tokoh pejuang kemerdekaan asal Aceh. Pascakemerdekaan, karena kecewa dengan pemerintahan Sukarno, Daud Beureueh memberontak. Dia mendirikan Negara Islam Indonesia atau NII Aceh.

Majalah Tempo edisi Ahad, 17 Agustus 2003 secara khusus mengulas seluk beluk kisah pendekar Tanah Jeumpa ini. Berikut kisah pemberontakan Daud Beureueh.

Cerita pemberontakan Daud Beureueh bermula dari munculnya sebuah dokumen rahasia. Tak ada yang tahu isinya dengan persis. Di kalangan tentara Darul Islam Aceh, gerakan pemberontakan yang mencuatkan nama Daud Beureueh, dokumen ini disebut “les hitam”. Sementara sejarawan Belanda Cornelis van Dijk menyebutnya “daftar hitam”. Dokumen ini jadi bahan gunjingan hangat di Tanah Jeumpa pada awal 1950-an.

Pengirimnya disebut-sebut adalah Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo melalui Jaksa Tinggi Sunarjo, yang membawanya ke Medan. Tapi ada juga yang menyebut dokumen ini warisan kabinet Sukiman. Isinya menggambarkan puncak perseteruan pemerintah Jakarta dengan Aceh. Jakarta berencana membunuh 300 tokoh penting Aceh, sumber lain menyebut 190 tokoh, lewat operasi rahasia. Keputusan ini diambil setelah Jakarta memastikan daerah itu akan makar.

Tapi tak ada yang bisa memastikan keberadaan dokumen itu. Sejarawan Belanda lainnya, B.J. Boland, dalam bukunya The Struggle of Islam in Modern Indonesia, menyebutkan sebetulnya dokumen tersebut tak pernah ada. Menurut Boland, desas-desus itu sengaja diembuskan oleh politikus sayap kiri di Jakarta untuk menghantam gerakan Islam di Aceh. Di sisi lain, secara tersirat Van Dijk menduga dokumen itu ada.

Advertising
Advertising

“Daftar nama itu barangkali sengaja dibocorkan dengan tujuan tertentu. Orang Aceh terkemuka merasa mereka mungkin akan ditangkap dan, karena itu, memutuskan lari ke gunung,” kata Van Dijk.

Ali Sastroamidjojo dalam rapat paripurna DPR pada 2 November 1953 menyangkal telah menyusun daftar itu. Tapi tak penting benar apakah dokumen itu ada atau tidak. Yang pasti, rumor rencana pembunuhan itu membuat pemberontakan Darul Islam di Aceh menemukan momentumnya. Aktivis Darul Islam langsung pasang kuda-kuda. Daud Beureueh, salah satu orang yang disasar dalam dokumen itu, segera mengacungkan kapak perang.

“Les hitam adalah bukti yang menimbulkan kecurigaan kita bahwa pencetus peristiwa berdarah itu adalah permainan lawan-lawan politik Teungku Daud Beureueh untuk menghancurkan beliau dan kawan-kawan,” kata Nur el-Ibrahimy, menantu Daud Beureueh sekaligus saksi sejarah Aceh, yang berusia 94 tahun saat diwawancara Tempo pada 2003.

Sembilan tahun Daud Beureueh memimpin sebuah gerakan perlawanan dengan bendera Darul Islam. Gerakan itu menjadi pembuka kisah pemberontakan Aceh pasca-era kolonial. Namun “Les hitam” bukanlah satu-satunya alasan terjadinya pemberontakan di Aceh. Dokumen itu hanya sumbu. Minyak tanahnya adalah kekecewaan Daud Beureueh yang merasa dikhianati Sukarno setelah membela Republik di masa perjuangan kemerdekaan.

Kekecewaan itu tersulut akibat dibubarkannya Divisi X TNI di Aceh pada 23 Januari 1951 status provinsi wilayah ini dicabut. Ada yang menyebut kabinet Natsir yang melakukannya. Tapi ada yang berpendapat itu hasil kabinet sebelumnya. Aceh dipaksa lebur dalam Provinsi Sumatera Utara. Abdul Hakim diangkat sebagai gubernurnya dengan Medan sebagai pusat pemerintahan. Daud Beureueh selaku Gubernur jenderal yang meliputi kawasan Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, tak tahu menahu.

“Semua surat yang dialamatkan ke residen koordinator dikembalikan ke Medan tanpa dibuka atas perintah Daud Beureueh,” tulis Van Dijk.

Kesumat Daud Beureueh tak hanya muncul karena wewenang kekuasaan yang dilanggar. Telah lama rakyat Aceh merasa dipinggirkan penguasa Republik. Ekonomi rakyat tak diperhatikan, pendidikan morat-marit, dan Jakarta dalam pandangan Daud Beureueh hanya sibuk bertikai dalam sistem politik parlementer. Dan yang terpenting status otonomi khusus, yang memungkinkan Aceh memiliki sistem pemerintahan sendiri dengan asas Islam, tak kunjung dipenuhi Sukarno.

Itulah sebabnya Daud Beureueh lalu bergandengan tangan dengan Kartosoewirjo, pemimpin Darul Islam di Jawa Barat, yang lebih dulu mengibarkan bendera perang. Tak jelas benar siapa yang lebih dulu “membuka kata” untuk sebuah kongsi yang bersejarah ini. Menurut sebuah dokumen rahasia yang belakangan terungkap, Daud Beureueh dan orang kepercayaannya, Amir Husin al-Mujahid, pernah berunding dengan Kartosoewirjo di Bandung pada 13 Maret 1953.

Utusan Kartosoewirjo, Mustafa Rasyid, pernah pula dikirim ke Aceh untuk membicarakan hal yang sama. Mustafa ditangkap tentara Indonesia ketika kembali ke Jawa pada Mei 1953. Kemarahan Daud Beureueh terhadap pemerintahan Sukarno mendapat dukungan publik Aceh. Dalam kongres ulama Aceh di Medan, yang dilanjutkan dengan kongres PUSA di Langsa, April 1953, menggumpallah iktikad melawan Jakarta.

Orang-orang Jawa dan Medan mereka sebut sebagai “kafir yang akan merebut Aceh.” Sukarno mereka sebut sebagai presiden yang hanya akan memajukan agama Hindu. Puncaknya adalah maklumat perang yang ditulis Daud Beureueh pada September 1953. Dia mendirikan Negara Islam Indonesia atau NII Aceh. Dalam maklumat tersebut, proklamasi NII Aceh tersebut sekaligus menandai lenyapnya Pemerintah Aceh di Tanah Jeumpa.

“Dengan lahirnya proklamasi Negara Islam Indonesia Aceh dan daerah sekitarnya, lenyaplah kekuasaan Pemerintah Pancasila di Aceh,” demikian bunyi makmulat yang dikirim hingga ke desa-desa.

Jakarta bukan bergeming. Sebelum tentara dikirim, Sukarno mendatangi Aceh untuk mendinginkan suasana. Tapi, seperti kunjungannya pada 1951, kunjungan menjelang perang berkobar itu disambut dingin. Pengamat politik Herbert Feith dalam artikelnya di jurnal Pacific Affairs pada 1963 mencatat betapa Sukarno tak berdaya disambut poster-poster antipresiden.

“Kami cinta presiden tapi lebih cinta agama,” begitu bunyi salah satu poster.

Wakil Presiden Mohammad Hatta, yang punya latar belakang keislaman, relatif lebih berhasil. Dalam kunjungan pada Juli 1953, ia berhasil berunding dengan Daud Beureueh dan pulang ke Jakarta dengan keyakinan bisa mengatasi keadaan. Tak seperti Sukarno, Hatta sejak awal percaya bahwa pemberontakan daerah hanya bisa diatasi dengan menerapkan otonomi khusus dan federalisme.

Tapi Hatta justru dikepung oleh kritik politikus sekuler, terutama Partai Komunis Indonesia atau PKI. Dia dianggap ceroboh karena telah menggunakan pengaruhnya kepada Perdana Menteri Wilopo sehingga pemerintah tak mengambil tindakan apa-apa menghadapi Aceh hingga 1953. Pertempuran akhirnya memang tak terhindarkan di Aceh. Dan Daud Beureueh berdiri dalam pusaran konflik yang berkepanjangan.

Pemberontakan Daud Beureueh berlarut-larut. Sebagian pimpinan DI/TII menjalin kontak dengan pusat dan turun gunung, sementara itu rakyat lelah oleh perang. Pada 1961, ia menyerahkan diri kembali ke pangkuan Republik, selepas menjalani pemberontakan yang panjang. Dalam surat-menyuratnya dengan Kolonel M. Jassin, Panglima Kodam I Iskandar Muda, yang diutus untuk membujuk Daud Beureueh, ia menyatakan kesediaannya untuk turun gunung dengan lebih dulu diberi kesempatan bermusyawarah dengan kalangan ulama.

Ia bukan lagi pejabat, bukan pemimpin pemberontak, tapi pengaruhnya tak menyusut banyak. Awal Mei 1978, ia bahkan diasingkan ke Jakarta oleh pemerintah Orde Baru untuk mencegah karismanya menggelorakan perlawanan rakyat Aceh. Di Jakarta, meski dipinjami kendaraan pribadi dan biaya hidupnya ditanggung pemerintah, Daud Beureueh menderita. Kesehatannya merosot tajam.

“Tak ada penyakit yang serius yang diidap Teungku Daud kecuali penyakit rindu kampung halaman,” kata El-Ibrahimy.

Ia tutup usia di tanah Aceh pada 1987. Napasnya berhenti hanya dua tahun sebelum pemerintah menetapkan Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM)— masa yang membuat luka di Tanah Rencong kembali terbuka. Ini adalah operasi kontra-pemberontakan yang diluncurkan pada awal 1990-an sampai 22 Agustus 1998 melawan gerakan separatis Gerakan Aceh Merdeka atau GAM di Aceh.

HENDRIK KHOIRUL MUHID | MAJALAH TEMPO

Pilihan Editor: Profil daud Beureueh Pejuang yang Dicap Pemberontak Asal Pidie Aceh

Berita terkait

Prabowo Sebut Sukarno Bukan Milik Satu Partai, Apa Tanggapan PDIP?

6 jam lalu

Prabowo Sebut Sukarno Bukan Milik Satu Partai, Apa Tanggapan PDIP?

Basarah menganggap pernyataan Prabowo itu membuktikan keberhasilan PDIP mengembalikan status, peran, dan nama baik Sukarno.

Baca Selengkapnya

Sindiran Sukarno Bukan Milik Satu Partai Bisa jadi Batu Sandungan Pertemuan Prabowo dan Megawati

1 hari lalu

Sindiran Sukarno Bukan Milik Satu Partai Bisa jadi Batu Sandungan Pertemuan Prabowo dan Megawati

Pernyataan Prabowo bisa menjadi hambatan psikologi politik yang serius di kemudian hari, untuk menjalin hubungan dengan Megawati.

Baca Selengkapnya

Kata Pengamat dan PDIP soal Prabowo Sebut Ada Partai Klaim Miliki Bung Karno

2 hari lalu

Kata Pengamat dan PDIP soal Prabowo Sebut Ada Partai Klaim Miliki Bung Karno

Prabowo menyindir bahwa selalu ada partai politik yang mengaku-ngaku memiliki Bung Karno. Apa kata PDIP dan pengamat?

Baca Selengkapnya

Prabowo Bertekad Tak Akan Tinggalkan Masyarakat Aceh dan Sumbar, Kenapa?

2 hari lalu

Prabowo Bertekad Tak Akan Tinggalkan Masyarakat Aceh dan Sumbar, Kenapa?

Prabowo bertekad untuk menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia, termasuk masyarakat di Aceh dan Sumbar.

Baca Selengkapnya

Prabowo Sindir Ada Partai Ngaku-ngaku Memiliki Bung Karno, Begini Menurut Pengamat Politik

2 hari lalu

Prabowo Sindir Ada Partai Ngaku-ngaku Memiliki Bung Karno, Begini Menurut Pengamat Politik

Prabowo menyindir bahwa selalu ada partai politik yang mengaku-ngaku memiliki Bung Karno.

Baca Selengkapnya

Sukarno Pernah Melarang Manifesto Kebudayaan 60 Tahun Lalu, Apa itu Manikebu dan Lekra?

3 hari lalu

Sukarno Pernah Melarang Manifesto Kebudayaan 60 Tahun Lalu, Apa itu Manikebu dan Lekra?

Presiden Sukarno pernah melarang Manifesto Kebudayaan pada 60 tahun lalu. Apa itu Manikebu dan Lekra yang mengemuka saat itu?

Baca Selengkapnya

Ma'ruf Amin Sebut Menteri di Kabinet Prabowo Bisa Lebih Banyak Kalau Ada Keperluan

5 hari lalu

Ma'ruf Amin Sebut Menteri di Kabinet Prabowo Bisa Lebih Banyak Kalau Ada Keperluan

Wakil Presiden Ma'ruf Amin menanggapi soal rencana Presiden terpilih Prabowo membentuk kabinet gemuk.

Baca Selengkapnya

Kongres Peradaban Aceh Bahas Budaya di Era Kecerdasan Buatan

6 hari lalu

Kongres Peradaban Aceh Bahas Budaya di Era Kecerdasan Buatan

Kongres Peradaban Aceh 2024 membahas nasib seni dan budaya di era kecerdasan buatan. Apa yang harus seniman lakukan?

Baca Selengkapnya

Soal Alat Sadap IMSI Catcher di Indonesia, Ini Kata Bos Polus Tech

7 hari lalu

Soal Alat Sadap IMSI Catcher di Indonesia, Ini Kata Bos Polus Tech

Bos Polus Tech mengakui kesulitan untuk mengawasi penggunaan alat sadap oleh pembeli.

Baca Selengkapnya

Menang Telak di Aceh saat Pilpres 2024, Anies: Terima Kasih Orang-orang Pemberani

8 hari lalu

Menang Telak di Aceh saat Pilpres 2024, Anies: Terima Kasih Orang-orang Pemberani

Anies Baswedan mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Aceh karena telah memberi dukungan di Pilpres 2024.

Baca Selengkapnya