Menkes Budi Gunadi Ungkap Alasan Penghapusan Mandatory Spending di UU Kesehatan
Rabu, 12 Juli 2023 15:17 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menanggapi dihapusnya mandatory spending yang banyak disoroti dalam Undang-Undang Kesehatan. UU Kesehatan baru saja disahkan oleh DPR RI melalui Rapat Paripurna ke 29 Masa Sidang V tahun 2022-2023 pada Selasa, 11 Juli 2023.
Budi Gunadi mengatakan mandatory spending belum tentu berdampak efektif pada kesehatan penduduk Indonesia. Budi menyebut tidak ada data yang membuktikan bahwa spendingnya semakin besar, derajat kesehatannya makin baik. "Besarnya spending tidak menentukan kualitas dari outcome," kata Budi di kompleks DPR RI, Senin, 11 Juli 2023.
Budi mencontohnya negara-negara dengan mandatory spending yang besar seperti Amerika. Dimana mandatory spending-nya besar tidak mendukung harapan hidup masyarakatnya.
"Amerika dengan 12 ribu dollar rata-rata usianya 80. Kuba dengan 1.900 dollar rata-rata usianya juga 80, mereka terluntang-lantung," kata Budi.
Sementara Jepang dan Korea Selatan yang mandatory spending-nya sedikit, yakni 4.800 dollar dan 3.600 dollar, usia harapan hidup mencapai 80 tahun. Dan Singapura kata Budi, mandatory spending-nya sebesar 2.600 dollar dengan outcome 84 tahun.
Maka dari itu, kata Budi, jika Indonesia terus fokus ke spending atau dana, maka akan banyak tanggungan yang dirasakan masyarakat dan pemerintah.
"RI sekarang per kapitanya 132, kalau usianya 72, itu ada sekitar 11 ribu dollar tambahan yang ditanggung masyarakat dan pemerintah. Sebelas ribu dollar kali 270 juta (penduduk), itu bisa dihitung berapa triliun US dollar? Kalau kita fokusnya ke spending," ucapnya.
Maka saat ini, kata Budi, sistem kesehatan fokusnya jangan ke spending, tapi fokusnya ke program.
"Jangan ke input, tapi ke outcome. Itu yang ingin kita didik ke masyarakat, jangan kita tiru kesalahan yang sudah dilakukan negara lain yang sudah buang-buang uang terlampau banyak tanpa ada hasilnya," ujar Budi.
Budi juga menyebutkan bahwa Presiden Jokowi mempertanyaan kejelasan dari mandatory spending yang tidak pernah tuntas terhadap penyelesaian program kesehatan.
"Jadi sesudah kita belajar, bapak presiden juga sempat berbicara berapa kali, uangnya dipakai buat apa. Dan saya mengalami sebagai menteri, banyak betul uang yang dipakainya kemudian nggak jelas," katanya.
Pendekatan Program
Budi mengatakan bahwa pihaknya dan DPR RI setuju dengan pendekatannya program, bukan pendekatan uang.
"Apapun inputnya, berapa besar, kalau nggak ada result-nya, outputnya nggak ada gunanya. Sebetulnya uangnya kita kasih. Yang penting hasilnya," katanya.
Program itu kata Budi, akan disusun dalam Rencana Induk Bidang Kesehatan, di mana kata Budi, akan disetujui antara pemerintah dan DPR.
"Ini menyetujui output, menyetujui program. Dan apa yang ada di Rencana Induk Bidang Kesehatan ini nantinya akan di support secara finansial sesuai kapasitas yang ada," ucapnya. Alasannya adalah agar Program Rencana Induk dapat mencapai output yang dituju bersama.
"Jadi mekanismenya adalah penyusunan rencana induk bidang kesehatan," katanya.
UU Kesehatan menghilangkan pasal aturan mandatory spending alias wajib belanja. Dalam Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, diatur besarannya 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD di luar gaji.
Pilihan Editor: Polemik Pengesahan RUU Kesehatan, Kemenkes Sebut Ada Guru Besar Terpengaruh Provokasi dan Hoaks