Komisi Yudisial Akui Minimnya Calon Hakim Ad Hoc HAM Kompeten di MA, Apa Sebabnya?
Reporter
Eka Yudha Saputra
Editor
Febriyan
Senin, 6 Februari 2023 13:53 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia mengatakan pihaknya menerima masukan dan kritik dari organisasi masyarakat sipil perihal seleksi calon hakim ad hoc Hak Asasi Manusia (HAM) di Mahkamah Agung (MA) yang telah diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kritikan itu berupa minimnya pemahaman dan kompetensi calon hakim terhadap permasalahan HAM.
Juru bicara KY Miko Ginting menyatakan seleksi terhadap calon hakim ad hoc HAM di MA dilakukan dalam kondisi yang tidak ideal, terutama karena pendaftar yang terbatas sekalipun penjaringan sudah dilakukan semaksimal mungkin.
Ia menuturkan KY dalam seleksi ini tetap menerapkan mekanisme dan standard seleksi sebagaimana layaknya seleksi calon hakim agung, terutama pada aspek integritas.
“Untuk itu, kritik terhadap calon ini mesti dikerangkakan dalam kerangka persoalan yang lebih besar, yaitu minimnya ketersediaan calon, terutama calon yang kompeten dan berintegritas,” kata Miko Ginting dalam keterangan resmi tertulis yang diterima Tempo, Senin, 6 Februari 2023.
Masalah batasan usia, ketidakpastian perkara dan insentif
Miko menjelaskan salah satu yang ditengarai menjadi penyebabnya adalah syarat dalam undang-undang terkait usia minimal calon, yaitu 50 tahun. Batas usia ini menyebabkan calon-calon potensial tetapi belum sampai batas usia tersebut tidak bisa mendaftar.
Di samping itu, persoalan lain yang lebih struktural adalah ketidakpastian perkara yang akan ditangani. Hingga saat ini hanya satu perkara, yaitu perkara pelanggaran HAM Paniai, yang diperiksa oleh pengadilan. Itupun hanya dengan satu terdakwa yang akhirnya diputus bebas pada pengadilan tingkat pertama.
“Padahal selama menjabat sebagai hakim ad hoc HAM di MA, calon yang bersangkutan tidak bisa atau sangat terbatas untuk menjalankan profesi lain,” tutur Miko.
Selanjutnya, kata Miko, persoalan lain yang kerap muncul dari para calon adalah soal insentif. Hingga saat ini, KY belum mendapatkan informasi terkait peraturan presiden tentang insentif dan fasilitas bagi hakim ad hoc HAM di MA.
“Tiga persoalan pokok di atas adalah persoalan struktural yang terdapat dalam regulasi dan proses penegakan hukum secara faktual,” kata dia.
Selanjutnya, KY tak bisa melakukan seleksi ulang karena UU
<!--more-->
Miko mengatakan, andai pun seleksi diulang kembali, maka KY akan melanggar undang-undang karena batas waktu seleksi maksimal enam bulan.
“Dengan demikian, apakah ada jaminan calon yang potensial sesuai harapan organisasi masyarakat sipil akan didapatkan?” ujarnya.
Ia menuturkan berbagai persoalan yang menyebabkan minimnya calon untuk mendaftar sementara perkara sudah diajukan ke tingkat Kasasi, maka KY mesti memutuskan untuk memilih calon yang terbaik dari yang ada.
“Jika tidak demikian, maka kepastian dan keadilan bagi korban akan tertunda,” kata Miko.
Kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil
Sebelumnya, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan atau KontraS Fatia Maulidiyanti menyoroti para hakim ad hoc Hak Asasi Manusia Mahkamah Agung yang minim pengetahuan soal HAM.
Pertama, Fatia mengatakan beberapa calon yang diwawancara oleh Komisi Yudisial masih ada yang belum memahami undang-undang yang mengatur pelanggaran HAM dengan baik. Misalnya saja, kata dia, masih ada calon hakim masih belum memahami perbedaan mendasar antara pelanggaran yang dirumuskan dalam UU HAM dengan Pelanggaran HAM Berat yang dirumuskan dalam UU Pengadilan HAM.
“Bahkan, salah seorang calon juga tidak bisa menjelaskan dengan baik unsur utama kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu “meluas” dan “sistematis,” kata Fatia pada Sabtu 4 Februari 2023.
Selain itu, Fatia menyebut masih ada calon yang tidak memahami mekanisme kompensasi dan restitusi kepada korban pelanggaran HAM. Bahkan, kata dia, alasannya sangat tidak masuk akal yakni belum membaca mengenai regulasi yang mengatur.
“Tentu ini akan berbahaya bagi Pengadilan HAM mengingat para calon jika terpilih akan diberi tugas mengadili kasus Pelanggaran HAM Berat Paniai pada tingkat kasasi,” ujarnya melalui keterangan tertulis.
Berikutnya, Fatia menyoroti masih banyaknya calon hakim ad hoc yang meyakini pelanggaran HAM bisa diselesaikan secara non-yudisial. Selain itu, dia mengatakan beberapa calon juga tidak mengetahui pengetahuan mendasar mengenai HAM seperti Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) dengan alasan belum membaca.
Perihal seleksi, Miko mengatakan pada awalnya hanya empat calon yang mendaftar, lalu KY membuka perpanjangan dan mendapat 15 pendaftar. Setelah seleksi administrasi, hanya 13 pendaftar yang lulus dan dari 13 pendaftar tersebut ada 3 calon yang mengundurkan diri. Dari 10 calon, pada tahap seleksi kualitas hanya enam calon yang dinyatakan lulus ke tahap berikutnya, yaitu seleksi kesehatan, kepribadian, dan penelusuran rekam jejak. Selanjutnya, hanya 5 calon yang dinyatakan lolos untuk mengikuti tahap wawancara.
Sementara di sisi lain, KY dibatasi oleh jangka waktu pelaksanaan seleksi calon hakim ad hoc HAM menurut undang-undang, yaitu maksimal 6 bulan. Terlebih pengajuan Kasasi sudah dilakukan oleh Kejaksaan ke Mahkamah Agung terhadap putusan tingkat pertama perkara Paniai di mana Terdakwa diputus bebas dari tuntutan.
“Oleh karena itu, guna menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi korban, tidak ada pilihan selain menyediakan hakim pada tingkat Kasasi melalui seleksi oleh KY,” kata Miko.
EKA YUDHA SAPUTRA | MIRZA BAGASKARA