RUU Kesehatan untuk Reformasi Sektor Kesehatan
Jumat, 9 Desember 2022 08:35 WIB
JAKARTA - Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menyampaikan enam transformasi bidang kesehatan saat rapat kerja dengan Badan Legislasi DPR. Dante mengatakan, transformasi kesehatan ini merupakan komitmen pemerintah dalam memperbaiki sistem kesehatan di Indonesia.
"Transformasi ini tidak bisa terlepas satu sama lain, saling terkait sehingga dapat mendorong arsitektur kesehatan Indonesia yang lebih komprehensif. Tingkat kematian akibat penyakit berat dapat tertangani dengan baik apabila kita punya regulasi yang baik,” kata Dante dalam rapat dengar pendapat yang terbuka untuk umum pada Selasa, 22 November 2022. Berikut enam transformasi kesehatan tersebut:
1. Transformasi layanan primer
Poin ini menitikberatkan pada masih kurangnya akses ke layanan primer di masyarakat. Dante menjelaskan, kurangnya akses terhadap layanan primer tersebut mengakibatkan kondisi yang fatal hingga kematian.
"Padahal sebagian besar kasus kematian di Indonesia merupakan kasus yang dapat dicegah," kata Dante. Contoh tingkat kematian bayi. Sebesar 96,8 persen dari total kematian pada bayi disebabkan oleh kondisi yang dapat dicegah, sebagian dapat dicegah, serta kecelakaan dan lainnya. Beberapa kondisinya adalah kelainan neonatal, seperti komplikasi persalinan dan gangguan tumbuh kembang. Ada pula kematian bayi karena inveksi menular seksual, infeksi saluran pernapasan, diare, dan tetanus.
Begitu juga berbagai kondisi yang mengakibatkan kematian pada anak-anak, remaja, usia produktif, dan lansia yang sejatinya dapat dicegah apabila masyarakat dapat mengakses layanan kesehatan primer dengan mudah. "Hal ini dapat dicegah dengan menerapkan regulasi khusus," kata Dante.
Data Bank Dunia tentang angka kematian bayi menunjukkan, kondisi di Indonesia enam kali lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju. Jika per 1.000 populasi di negara maju itu terdapat empat kasus kematian, di Indonesia angkanya 23 kasus.
Akses layanan primer di daerah timur Indonesia sangat terbatas. Sebanyak 90 persen dari 171 kecamatan di Papua dan Papua Barat tidak memiliki puskesmas.
2. Transformasi layanan rujukan
Dante membeberkan penyakit dengan kematian tertinggi dan pembiayaan terbesar. Penyakit katastrofik itu adalah penyakit jantung, stroke, kanker, dan ginjal.
Data Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) menunjukkan sejak 2009-2019, dua penyakit yang memicu kematian tertinggi adalah stroke dan penyakit jantung. Adapun dana BPJS Kesehatan 2020 memaparkan beban pembiayaan terbesar adalah untuk pasien penyakit jantung (Rp 10,3 triliun), kanker (Rp 3,5 triliun), stroke (Rp 2,5 triliun), dan gagal ginjal (Rp 2,3 triliun).
Lantas bagaimana dengan pelayanan kesehatan untuk setiap penyakit katastrofik itu?
Dante mengambil satu contoh dari penyakit jantung. Saat ini, menurut dia, hanya ada 40 rumah sakit mampu melakukan kateterisasi dan hanya sepuluh rumah sakit yang bisa melakukan bedah jantung terbuka atau operasi bypass jantung. "Jadi, kalau pasien penyakit jantung berada di Papua, maka yang paling dekat dia harus dibawa ke RSUD Aloei Saboe di Kota Gorontalo," ujarnya. Padahal, Dante melanjutkan, terdapat periode emas yang memungkinkan pasien selamat apabila menjalani katerisasi lengkap atau menjalani bedah jantung.
"Butuh regulasi supaya pelayanan jantung sesuai dengan kompetensi yang belum merata di Indonesia ini bisa diatasi dengan baik," ujarnya. Ada pula masalah antrean panjang operasi jantung akibat peyakit jantung bawaan pada anak, yang juga menjadi salah satu penyebab kematian. Di RS Jantung Harapan Kita misalkan, anak yang mengidap kelainan jantung harus menunggu sampai tiga tahun untuk menjalani operasi jantung.
Juga problem tentang ketersediaan tenaga kesehatan. Hal ini, menurut Dante, dapat diatasi dengan mempermudah sistem pendidikan kedokteran sehingga bisa menyediakan pelayanan jantung terbuka bagi anak-anak dengan waktu tunggu yang lebih singkat. Mengenai penanganan penyakit katostrofik, Dante menambahkan, penting juga menerapkan pendekatan di hulu untuk mencegah penyakit tersebut.
3. Transformasi sistem ketahanan kesehatan
Dante mengatakan, ketahanan kesehatan masih lemah karena 90 persen bahan baku obat masih impor. "Sebanyak 88 persen alat kesehatan juga masih impor dan total biaya untuk riset hanya 0,2 persen," ujarnya.
Belajar dari apa yang terjadi selama pandemi Covid-19, Dante menyarankan penguatan kemandirian pada bahan baku obat, memudahkan produksi peralatan kesehatan, dan memperbanyak pembiayaan riset. Pada akhirnya, harga obat lebih murah dan ketergantungan dengan negara lain menjadi lebih rendah.
4. Transformasi sistem pembiayaan kesehatan
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan pembiayaan kesehatan secara global terus meningkat dan angkanya lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi di semua negara. Padahal angka harapan hidup tidak serta merta tergantung pada health care expenditure.
Contoh, pada 2019 Amerika Serikat memiliki usia harapan hidup hingga 78,5 tahun dengan pendapatan US$ 10 ribu per kapita per tahun. Sedangkan di Indonesia, jumlah pendapatan US$ 120 per kapita per tahun dengan angka harapan hidup sampai 71 tahun. "Life expenditure-nya berbeda sekitar enam tahun dengan pendapatan perkapita berbeda sepuluh kali lipat," ujarnya
Untuk mengatasi masalah tersebut, transformasi pembiayaan kesehatan yang dapat dilakukan antara lain:
- Peningkatan upaya promotif dan preventif
- Kecukupan layanan jaminan kesehatan nasional
- Insentif berbasis kinerja untuk review kapita BPJS
- Peningkatan koordinasi di antara penyedia jaminan, yakni JKN dengan asuransi kesehatan swasta
- Percepatan produksi nasional health account, berupa pembiayaan kesehatan berbasis bukti, bukan berbasis cakupan berjenjang
- Health technology assesment, yaitu mengetengahkan bukti-bukti empiris yang membuat pengobatan bisa efektif dan murah untuk diterapkan di rumah-rumah sakit di seluruh Indonesia
5. Transformasi SDM kesehatan
Dante memaparkan rasio jumlah dokter dengan jumlah penduduk Indonesia, yakni 0,42 dokter per 1.000 populasi. "Ini baru untuk dokter umum," katanya. Padahal WHO mematok angka ideal satu dokter per 1.000 populasi.
Rinciannya, sebanyak 5 persen dari 10.373 puskesmas belum memiliki dokter, 52 persen puskesmas belum memiliki sembilan jenis tenaga kesehatan dasar, yakni dokter umum, dokter gigi, perawat, bidan, apoteker, petugas kesehatan masyarakat, sanitarian, ahli laboratorium, dan ahli gizi. Sebanyak 647 RSUD di tingkat kabupaten/kota juga belum terpenuhi tujuh jenis dokter spesialis, yaitu anak, obgyn, penyakit dalam, bedah, anestesi, radiologi, dan patologi klinik.
Dengan rasio dokter umum dengan jumlah penduduk yang masih jauh dari ideal, Dante melanjutkan, terlebih lagi dengan rasio dokter spesialis. "Masih sedikit dan minimnya tenaga dokter spesialis kita," ucapnya.
Misalkan, rasio jumlah dokter spesialis penyakit jantung dan pembuluh darah di Indonesia hanya 0,006 per 1.000 penduduk. Sementara di Inggris rasionya 0,053, di Australia 0,063, dan di Amerika Serikat 0,056. Begitu juga dengan dokter spesialis anestesi dan terapi intensif, dokter spesialis bedah umum, dokter spesialis penyakit dalam, dokter spesialis anak, dokter spesialis saraf, dan dokter spesialis obstetri ginekologi.
"Kondisi ini hanya bisa diatasi, pertama dengan menambah kuota mahasiswa kedokteran," ucap Dante. Kedua, rasio dosen dan mahasiswa kedokteran naik. Saat ini, rasio dosen dan mahasiswa untuk dokter spesialis adalah 1:3. "Dinaikkan menjadi 1:5 dan jumlah dosennya harus diperbanyak dua kali lipat."
Upaya lain yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dokter spesialis adalah dengan mendayagunakan dokter spesialis WNI lulusan luar negeri. Saat membuka rapat, Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas mengatakan telah memanggil perkumpulan yang bernama Dokter Susah Praktik. "Ini isinya dokter-dokter muda ataupun dokter spesialis yang ingin balik ke Tanah Air setelah menyelesaikan pendidikan di luar negeri, tetapi mendapatkan kesulitan dalam program adaptasi," katanya. Sebab itu, penting menyederhanakan aturan pada tahap pra-adaptasi, adaptasi, dan paska-adaptasi supaya mereka bisa langsung mengabdikan diri untuk berpraktik di dalam negeri.
6. Transformasi teknologi kesehatan
Dante mengatakan, terdapat lebih dari 400 aplikasi kesehatan milik pemerintah yang belum terintegrasi. Akibatnya, sulit memberikan masukan atau solusi kebijakan yang lebih cepat dan sesuai kondisi seketika karena harus menunggu laporan.
Dengan aplikasi PeduliLindungi misalkan, Dante melanjutkan, berbagai tantangan data dan sistem kesehatan bisa diregulasi dan lebih sederhana. "Tidak perlu melaporkan data secara rutin, tetapi bisa langsung mengadaptasi data tersebut untuk evaluasi di tingkat pusat," ujarnya.
Enam transformasi kesehatan tadi, Dante menambahkan, dapat diakselerasi apabila memiliki regulasi sistem kesehatan yang lebih baik. "Kementerian Kesehatan berusaha melakukan transformasi dengan berbagai upaya dan berharap agar program transformasi kesehatan tersebut dapat didukung melalui RUU Kesehatan," katanya. (*)