Tragedi Kanjuruhan dan Peru Ada Kesamaan, Amnesty Internasional Desak Pemerintah Usut Tuntas
Reporter
Hamdan Cholifudin Ismail
Editor
Febriyan
Minggu, 2 Oktober 2022 14:43 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Amnesty International Indonesia menilai Tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada Sabtu malam, 1 Oktober 2022, memiliki kesamaan dengan tragedi sepak bola yang terjadi di Peru pada 1964. Selain soal korban yang mencapai ratusan jiwa, kedua tragedi itu juga melibatkan paparan gas air mata dari aparat keamanan.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa peristiwaa itu merupakan tragedi kemanusiaan. Dia pun menyampaikan duka cita mendalam kepada keluarga para korban.
"Hak hidup ratusan orang melayang begitu saja pasca pertandingan bola, ini betul-betul tragedi kemanusiaan yang menyeramkan sekaligus memilukan. Perempuan dan laki-laki dewasa, remaja dan anak di bawah umur, menjadi korban jiwa dalam tragedi ini," kata Usman pada siaran pers Minggu 2 September 2022.
Kesamaan Tragedi Kanjuruhan dengan peristiwa Peru, negara harus mengusut tuntas
Tragedi yang terjadi pasca laga BRI Liga 1 antara Arema FC vs Persebaya Surabaya itu, menurut Usman, serupa dengan yang terjadi di Peru tahun 1964. Saat itu lebih dari 300 orang tewas akibat tembakan gas air mata yang diarahkan polisi ke kerumunan massa lalu membuat ratusan penonton berdesak-desakan dan mengalami kekurangan oksigen.
“Penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan negara untuk mengatasi atau mengendalikan massa seperti itu tidak bisa dibenarkan sama sekali. Ini harus diusut tuntas. Bila perlu, bentuk segera Tim Gabungan Pencari Fakta," kata Usman.
Usman menjelaskan peristiwa di Peru dan di Malang tidak seharusnya terjadi jika aparat keamanan memahami betul aturan penggunaan gas air mata.
"Tentu kami menyadari bahwa aparat keamanan sering menghadapi situasi yang kompleks dalam menjalankan tugas mereka, tapi mereka harus memastikan penghormatan penuh atas hak untuk hidup dan keamanan semua orang, termasuk orang yang dicurigai melakukan kerusuhan.” ujarnya.
Akuntabilitas negara, menurut Usman, benar-benar diuji dalam kasus ini. Oleh karena itu, pihaknya mendesak negara untuk menyelidiki secara menyeluruh, transparan dan independen atas dugaan penggunaan kekuatan berlebihan yang dilakukan oleh aparat keamanan serta mengevaluasi prosedur keamanan dalam acara yang melibatkan ribuan orang.
Dengan adanya kejadian ini, Amnesty International Indonesia juga berharap pemerintah untuk mengusut tuntas adanya tragedi kemanusiaan ini. Ia mengungkapkan bahwa perlu adanya tim pencari fakta untuk mengurai kejadian ini.
Selanjutnya, pelanggaran Aturan FIFA dan efek gas air mata
<!--more-->
FIFA Stadium Safety and Security Regulation Pasal 19 menyebutkan bahwa penggunaan gas air mata dan senjata api dilarang untuk mengamankan massa dalam stadion. Bahkan dalam aturan itu juga disebutkan bahwa kedua benda tersebut dilarang dibawa masuk dalam stadion.
Menurut studi yang dilakukan Amnesty Internasional, paparan gas air mata menyebabkan sensasi terbakar dan memicu mata berair, batuk, rasa sesak di dada dan gangguan pernafasan serta iritasi kulit. Dalam banyak kasus, efek gas air mata mulai terasa dalam 10 hingga 20 menit. Namun demikian, efek gas air mata memiliki dampak yang berbeda ke tiap orang. Anak-anak, perempuan hamil dan lansia lebih rentan terhadap efeknya.
Studi tersebut juga mengungkapkan bahwa tingkat keracunan dapat berbeda pula bergantung dari spesifikasi produk, kuantitas yang digunakan, dan lingkungan di mana gas air mata ditembakkan. Kontak dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan beberapa risiko kesehatan.
Usman menyatakan bahwa penggunaan kekuatan yang berlebihan, menurut oleh aparat negara berdampak langsung pada hak untuk hidup, yang dilindungi oleh Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang wajib dipatuhi Indonesia sebagai negara pihak. Oleh karena itu, penggunaan kekuatan harus sesuai dengan perlindungan hak asasi manusia yang ketat sebagaimana diatur secara lebih rinci dalam Kode Etik PBB untuk Pejabat Penegak Hukum (1979) dan Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Pejabat Penegak Hukum (1990).
Penggunaan kekuatan oleh aparat penegak hukum di Indonesia diatur lebih lanjut oleh UU Nomor 39/1999 Tentang HAM hingga Peraturan Kapolri tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Polisi (No. 1/2009).
Tragedi Kanjuruhan saat ini disebut sebagai tragedi sepak bola paling mematikan nomor dua di dunia setelah tragedi Peru pada 1964. Presiden Jokowi meminta agar kompetisi BRI Liga 1 dihentikan sementara. PT Liga Indonesia Baru menyatakan semua pertandingan ditiadakan hingga sepekan ke depan.