Apa Itu Restorative Justice dan Ketentuan Penerapannya?
Reporter
Muhammad Syaifulloh
Editor
Bram Setiawan
Jumat, 30 September 2022 13:31 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi III DPR telah memilih Johanis Tanak menggantikan Lili Pintauli Siregar sebagai pimpinan KPK. Johanis Tanak dalam uji kelayakan mengusulkan pendekatan keadilan restoratif atau restorative justice dalam penanganan kasus korupsi.
“Ada di UU (undang-undang) tentang BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Kalau BPK menemukan kerugian uang negara itu dikembalikan dalam tempo 60 hari, proses tidak dilakukan," kata Johanis usai mengikuti uji kelayakan di DPR, Rabu, 28 September 2022. "Kalau sudah dikembalikan, kemudian proses tetap berlangsung, berapa uang negara yang harus dikeluarkan?"
Pandangannya soal restorative justice untuk tindak pidana korupsi dinilai bisa semakin melanggengkan impunitas terhadap koruptor. Peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicola mengkritik pandangan yang disampaikan Johanis. Menurut dia, ide Johanis bertentangan dengan kedudukan perkara korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Bertentangan pula dengan United Nation Convention Against Corruption atau UNCAC.
“Upaya menggeser penanganan kasus korupsi menjadi ultimum remedium melalui restorative justice harus didahului dengan adanya UU Perampasan Aset," kata Alvin.
Apa itu restorative justice?
Restorative justice produk hukum baru yang coba diimplementasikan di Indonesia. Pengertian dari restorative justice tertuang di dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020. Peraturan itu tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Di dalam peraturan ini menjelaskan, restorative justice penyelesaian perkara tindak pidana yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait. Itu untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil menekankan pemulihan kembali keadaan semula, bukan pembalasan korban.
Merujuk laman University of Wisconsin-Madison, restorative justice berusaha memeriksa dampak berbahaya dari suatu kejahatan untuk memperbaiki kerugian. Itu sambil meminta tanggung jawab orang atas tindakannya.
Keadilan restoratif juga berusaha memasukkan pihak berdampak langsung dari kejahatan dalam proses peradilan, yaitu korban dan penyintas. Cara ini berfokus pemenuhan hak dari pihak yang dirugikan dari kerugian yang dialami. Proses restorative justice, korban diberdayakan untuk berpartisipasi lebih banyak daripada dalam sistem peradilan tradisional.
Dalam penegakan keadilan restoratif, terdapat beberapa ketentuan yang perlu dipenuhi. Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 12 huruf A dan B Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, yaitu:
1. Sifat perkara pidana ringan, mencakup delik aduan absolut maupun relatif
2. Masyarakat tidak menolak atau resah karena pemberlakuan restorative justice ini
3. Tidak berdampak konflik sosial
4. Terdapat pernyataan dari pihak yang terkait untuk tidak keberatan dan keinginan dari pelaku dan korban untuk berdamai
5. Wajib melaksanakan rekonsiliasi antara pihak yang berperkara serta tokoh-tokoh masyarakat setempat
6. Memperhatikan beberapa faktor seperti niat, usaha, kondisi sosial ekonomi, tingkat kerugian, hubungan keluarga atau kerabat, serta pelaku bukan residivis
7. Korban harus mencabut laporan atau pengaduan
8. Penyelesaian kasus dapat diselesaikan sesuai prosedur hukum yang berlaku apabila terdapat pihak yang merasa tidak puas dengan hasil melalui restorative justice
9. Apabila terjadi pengulangan tindak pidana yang sama, maka harus dilaksanakan proses hukum sesuai aturan yang berlaku
10. Proses hukum dapat mengarah ke ranah perdata apabila perbuatan diawali dengan perjanjian atau perikatan.
Baca: Gantikan Lili Pintauli Jadi Pimpinan KPK, Johanis Tanak Usulkan Pendekatan Keadilan Restoratif
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.