Jokowi Tunjuk Makarim Wibisono hingga Kiki Syahnakri di Tim Non-Yudisial HAM Berat
Reporter
Skor.id
Editor
Eko Ari Wibowo
Rabu, 21 September 2022 06:26 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi resmi meneken Keputusan Presiden atau Kepres Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu. Jokowi pun menetapkan beberapa nama masuk di tim yang kemudian disebut sebagai Tim PPHAM ini, dari Makarim Wibisono hingga Kiki Syahnakri.
"Tim PPHAM berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden," demikian bunyi Pasal 2 dalam beleid yang diteken Jokowi pada 26 Agustus 2022 ini.
Kepala negara menetapkan masa kerja Tim PPHAM ini sampai 31 Desember 2022. Akan tetapi, masa kerja ini dapat diperpanjang dengan Keputusan Presiden. Makarim yang merupakan mantan Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagai Ketua Tim Pelaksana.
Makarim Wibisono dibantu oleh Ifdhal Kasim sebagai Wakil Ketua Tim Pelaksana dan Suparman Marzuki sebagai Sekretaris. Lalu ada sembilan anggota, di antaranya ada nama mantan Wakil Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Letnan Jenderal (Purnawirawan) Kiki Syahnakri.
Ia pernah menjadi Ketua pelaksana Simposium Anti-Partai Komunis Indonesia pada 2016 lalu. Kala itu, Syahnakri pernah berpendapat bahwa rekonsiliasi korban kekerasan masa lalu sudah berjalan alamiah. Untuk itu, pemerintah tidak perlu lagi mencari model rekonsiliasi atas peristiwa tragedi 1965.
"Tidak usah mencari rekonsiliasi yang model baru. Kan sudah terjadi rekonsiliasi secara alamiah," kata Kiki dalam simposium bertema “Melindungi Pancasila dari Kebangkitan PKI dan Ideologi Lainnya” di Balai Kartini Jakarta, Rabu, 1 Juni 2016.
Adapun rincian sembilan anggota tersebut yaitu sebagai berikut:
1. Apolo Safanpo
2. Mustafa Abubakar
3. Harkristuti Harkrisnowi
4. As'ad Said Ali
5. Kiki Syahnakri
6. Zainal Arifin Mochtar
7. Akhmad Muzakki
8. Komarudin Hidayat
9. Rahayu
Tim pelaksana ini punya empat tugas. Pertama, melakukan pengungkapan dan analisis pelanggaran hak asasi manusia yang berat masa lalu berdasarkan data dan rekomendasi yang ditetapkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sampai dengan tahun 2020.
Kedua, mengusulkan rekomendasi langkah pemulihan bagi para korban atau keluarga. Ketiga mengusulkan rekomendasi untuk mencegah agar pelanggaran hak asasi manusia yang serupa tidak terulang lagi di masa yang akan datang. Keempat, menyusun laporan akhir.
Selain Tim Pelaksana, Jokowi juga membentuk Tim Pengarah yang diketuai oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud Md, serta Wakil Ketua Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.
Sementara empat anggota tim pengarah adalah Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Sosial Tri Rismaharini, dan Kepala Staf Presiden Moeldoko.
Tim pengarah ini bertugas memberikan arahan kebijakan kepada Tim Pelaksana dan melakukan pemantauan terhadap perkembangan pelaksanaan tugas Tim Pelaksana. Lau terakhir, menetapkan rekomendasi.
Alasan Jokowi Bentuk Tim
Awalnya, Jokowi mengumumkan bahwa dirinya telah meneken Kepres tersebut saat menyampaikan pidato di Sidang MPR RI, Jakarta Pusat, Selasa, 16 Agustus 2022. Ia menyebut tim ini bakal mengusut kejahatan HAM masa lalu yang belum terselesaikan sampai saat ini.
"Tindak lanjut atas temuan Komnas HAM masih terus berjalan. Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu telah saya tanda tangani," ujar Jokowi.
Jokowi menjelaskan pemerintah sedang memberikan perhatian serius terhadap penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Selain Keppres tersebut, Jokowi menyebut. RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi juga sedang dalam proses pembahasan.
Sampai saat ini, Komnas HAM tengah menangani 12 kasus pelanggaran HAM berat. Kasus-kasus tersebut di antaranya seperti Pembunuhan Massal 1965, Peristiwa Talangsari Lampung 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Rumoh Geudong Aceh 1998, dan Kerusuhan Mei 1998.
Lalu Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA Aceh 3 Mei 1999, Peristiwa Wasior dan Wamena 2001, Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003, Pembunuhan Munir, hingga Peristiwa Paniai.
Selanjutnya: Aspek Pemulihan Korban..
<!--more-->
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Siti Ruhaini Dzuhayatin juga menjelaskan alasan tim ini. "Untuk memberikan penekanan pada aspek pengungkapan kebenaran, pemulihan korban, dan jaminan ketidakberulangan," kata dia dalam keterangan tertulis, Rabu, 17 Agustus 2022.
Ruhaini menyebut tim dibentuk sejalan dengan pemerintah dan DPR yang terus mempercepat pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. "Ini semakin menguatkan kinerja pemerintah dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara non-yudisial yang saat ini sedang berlangsung," kata Ruhaini.
Ruhaini juga mengungkapkan beberapa upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pendekatan non-yudisial. Di antaranya seperti pelaksanaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh pasca Daerah Operasi Militer, serta penyiapan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua yang menjadi bagian dari UU Otonomi Khusus Papua.
Ruhaini mengatakan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu atau sebelum diundangkannya UU Pengadilan Hak Asasi Manusia dilakukan dengan dua pendekatan. Yudisial dan non-yudisial.
Meski ada penyelesaian non-yudisial, Ia menyebut penyelesaian yudisial tetap berjalan.
Secara yudisial, Ruhaini menyebut Jokowi telah menginstruksikan Kejaksaan Agung dan mendorong Komnas HAM untuk terus melanjutkan proses hukum atas pelangggaran HAM berat.
Ia mencontohkan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai Papua pada yang terjadi pada 2014. Dugaan kasus tersebut sudah dilimpahkan ke pengadilan. “Atas upaya ini, Presiden (Jokowi) mengapresiasi kesungguhan semua pihak, termasuk Kejagung dan Komnas HAM,” kata dia.
Kritik Setara Institute
Setara Institute mengkritik langkah Presiden Joko Widodo atau Jokowi membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat. Setara menilai pembentukan tim itu hanya proyek mempertebal impunitas dan pemutihan pelanggaran HAM masa lalu.
“Langkah pemerintah membuktikan bahwa Jokowi tidak mampu dan tidak mau menuntaskan kasus kasus pelanggaran HAM, bahkan yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM,” kata Ketua Setara Institute Hendardi, lewat keterangan tertulis Selasa, 16 Agustus 2022.
Hendardi mengatakan seharusnya pemerintah memilih untuk menggunakan mekanisme peradilan sesuai dengan perintah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Namun, kata dia, Jokowi justru menutup rapat tuntutan publik itu.
“Daya rusak tim ini akan berdampak luar biasa pada upaya pencarian keadilan karena tidak diberi mandat pencarian kebenaran untuk memenuhi hak korban dan publik,” kata dia.
Menurut dia, Jokowi telah mengingkari mandat UU pengadilan HAM karena memilih jalur nonyudisial untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. “Dapat dibayangkan, segera setelah tim menyelesaikan tugasnya, maka Jokowi akan mengklaim bahwa semua pelanggaran HAM telah diselesaikannya,” kata Hendardi.
Menurut dia, Jokowi bukannya tidak paham alur penyelesaian pelanggaran HAM. Dia menduga Keputusan Presiden tentang pembentukan tim itu merupakan proyek dari pihak tertentu yang ingin mencetak prestasi kosong untuk Jokowi.
Baca: Menilik Kembali Temuan Komnas HAM di Kasus Unlawful Killing KM50