Soal Lie Detector pada Kasus Brigadir J, Pengamat: Polisi Kesulitan Temukan Bukti
Reporter
Hamdan Cholifudin Ismail
Editor
Febriyan
Jumat, 9 September 2022 10:45 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Kepolisian, Bambang Rukminto menilai penggunaan poligraf atau alat penguji kebenaran dalam pengungkapan kasus Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat menunjukkan polisi kesulitan untuk menemukan bukti dalam memperkuat sangkaan. Dia pun mengkhawatirkan para tersangka akan lolos dari hukuman terberat.
"Dengan menggunakan lie detector ini seolah menunjukan bahwa Kepolisian kesulitan untuk menemukan bukti-bukti yang memperkuat sangkaan. Asumsinya polisi tak mampu mengumpulkan bukti-bukti untuk memperkuat sangkaan. Kalau sudah demikian, akan muncul asumsi bahwa tersangka akan lolos pada ancaman hukuman terberat," kata Bambang saat dihubungi Jumat 9 September 2022.
Tersangka memiliki hak ingkar
Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) ini menjelaskan bahwa penggunaan lie detector menjadi kontradiksi karena dilakukan terhadap saksi yang juga menjadi tersangka. Pasalnya, seorang tersangka memiliki hak ingkar atau hak untuk tidak menyatakan kejadian sebenarnya kepada penyidik.
Bambang pun menilai polisi sebenarnya tidak perlu melakukan pengujian kebenaran semacam ini. Dia menyatakan bahwa penyidik seharusnya tak mengejar pengakuan dari para tersangka dan fokus pada pencarian alat bukti lain untuk memperkuat sangkaan.
"Logikanya seseorang tersangka itu memiliki hak ingkar, bohong atau menyangkal, kenapa harus ditest dengan lie detector? Ini substansinya adalah mengejar pengakuan tersangka," ujarnya.
Pengakuan tersangka bernilai paling rendah
Bambang menjelaskan, dalam penyidikan, pengakuan tersangka bernilai paling bawah diantara bukti-bukti lainnya. Menurut dia, mengungkapkan bukti materiil adalah yang lebih penting daripada pengakuan tersangka.
"Pengakuan tersangka itu nilainya paling bawah dalam sebuah penyidikan. Jauh di bawah bukti-bukti materiil. Profesionalisme dan kepiawaian polisi itu ditunjukan dengan mengumpulkan bukti-bukti materiil," ucapnya.
Penggunaan lie detector ini menurut Bambang mencuat setelah adanya kasus kopi sianida yang menewaskan Wayan Mirna Salihin pada 2016 lalu. "Dalam kasus kopi sianida yang menewaskan Mirna, polisi menggunakan tes deteksi kebohongan pada Jessica Wongso sebagai tersangka," ucapnya.
Selanjutnya, alat lie detector Polri diklaim memiliki akurasi hingga 93 persen
<!--more-->
Anggota Komisi Kepolisian Nasional, Yusuf Warsyim mengungkapkan bahwa alat pendeteksi kebohongan milik Kepolisian Republik Indonesia saat ini tergolong baru. Menurut dia, akurasi alat ini bisa mencapai 93 persen.
"Dalam pantauan kami, poligraf Polri sendiri adalah produk tahun 2019, buatan US dan sudah tersertifikasi baik secara internasional dan ISO. Termasuk operator sudah memiliki sertifikasi di US," kata Yusuf pada keterangan tertulis Jumat 9 September 2022.
"Tingkat akurasi di atas 93 persen sebahai syarat hasilnya dapat pro justitia dan dapat dijadikan alat bukti di PN ( petunjuk dan keterangan ahli)," tambahnya.
Sebelumnya, kelima tersangka pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J telah menjalani tes poligraf atau uji kebenaran. Diketahui bahwa saat uji tersebut Bharada E alias Richard Eliezer Pudihang Lumiu, Kuat Ma'ruf, dan Bipka Ricky Rizal terbukti jujur pada Selasa 6 September 2022.
"Barusan saya dapat hasil sementara uji polygraph terhadap RE, RR dan KM, hasilnya 'No Deception Indicated' alias jujur," tutur Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian Djajadi, Selasa 6 September 2022.
Dua tersangka pembunuhan Brigadir J lainnya, Putri Candrawathi dan Ferdy Sambo juga menjalani tes poligraf. Hanya saja, polisi tak mengungkapkan hasilnya ke publik.