Jejak Gus Dur: Keturunan Tionghoa, Reformasi NU, Bentuk PKB, Dilengserkan sebagai Presiden, Bapak Toleransi
Reporter
Eiben Heizar
Editor
S. Dian Andryanto
Rabu, 7 September 2022 15:40 WIB
Belajar di Luar Negeri
Pada 1963, Gus Dur menerima beasiswa dari Kementerian Agama untuk belajar studi Islam di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Gus Dur pergi ke Mesir untuk menempuh studi pada November 1963. Namun, sebelum belajar di Al Azhar, Gus Dur harus mengambil kelas remedial untuk membuktikan kemampuannya dalam berbahasa Arab. Pada 1964, Gus Dur berhasil lulus kelas remedial dan pada 1965 ia mulai belajar tentang studi Islam di Al Azhar. Ketika mulai menempuh studi, Gus Dur kecewa karena ia telah mempelajari banyak materi yang diberikan dan menolak metode belajar yang digunakan universitas.
Ketika meletus peristiwa Gerakan 30 September, Gus Dur dipekerjakan oleh Kedutaan Besar Indonesia untuk melakukan investigasi terhadap para pelajar Indonesia di Al Azhar dan memberikan laporan kedudukan politik mereka.
Pada 1966, Gus Dur pindah ke Irak karena ia mengalami kegagalan di Mesir dan pekerjaan yang dibebankan kepadanya mengganggu studinya. Gus Dur pindah ke Universitas Baghdad. Pada 1970, Gus Dur menyelesaikan studinya di Universitas Baghdad dan kembali ingin melanjutkan pendidikannya di luar negeri, tepatnya di Eropa. Namun, ketika ia melamar di Universitas Leiden, ia kecewa karena pendidikan di Universitas Baghadad kurang diakui. Gus Dur pun pergi ke Jerman dan Prancis. Akhirnya, pada 1971, Gus Dur kembali ke tanah air.
Kembali ke Tanah Air
Setelah kembali ke Indonesia, Gus Dur sangat berharap untuk melanjutkan studinya di Universitas McGill Kanada. Di samping itu, ia menyibukkan dirinya dengan bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Di LP3ES, Gus Dur terlibat dalam proyek majalah Prisma dan ia menjadi salah satu kontributor utama. Selain itu, Gus Dur juga berkeliling ke berbagai pesantren dan madrasah yang ada di Jawa. Gus Dur merasa prihatin dan khawatir nilai-nilai tradisional pesantren akan luntur karena mengadopsi kurikulum pemerintah. Melihat kondisi tersebut, Gus Dur memutuskan untuk mengurungkan niatnya melanjutkan studinya di luar negeri dan memilih untuk mengembangkan pesantren.
Sebagai trah keluarga pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Gud Dur diminta oleh banyak pihak untuk aktif dalam menjalankan NU. Namun, permintaan ini berlawanan dengan aspirasi dan keinginan Gus Dur. Bahkan, ia dua kali menolak tawaran untuk bergabung dalam Dewan Penasihat Agama NU.
Pada akhirnya, tawaran tersebut akhirnya diterima setelah sang kakek, KH Bisri Syansuri, memberikan Gus Dur tawaran yang ketiga. Sebagai anggota Dewan Penasihat Agama, Gus Dur mulai memimpin reformasi pada tubuh NU. Pada 1982, Gus Dur juga mulai aktif dalam dunia politik. Saat itu, ia berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam pemilihan umum legislatif 1982.
Selanjutnya: Gus Dur dan Reformasi NU