Pergerakan Nyi Ahmad Dahlan untuk Perempuan Dimulai dari Sopo Tresno di Kampung Kauman
Reporter
Hendrik Khoirul Muhid
Editor
S. Dian Andryanto
Selasa, 2 Agustus 2022 06:14 WIB
Mengutip laman opop.jatimprov.go.id, Nyai Ahmad Dahlan disebut sebagai tokoh perempuan yang berjasa dalam perjalanan bangsa Indonesia. Pada 1914, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan Sopo Tresno. Ini adalah perkumpulan gadis-gadis terdidik di sekitar Kampung Kauman. Kampung Kauman merupakan pemukiman bagi abdi dalem Keraton Yogyakarta dari kalangan ulama.
Pada 19 Mei 1917, perkumpulan Sopo Tresno diubah nama menjadi Aisyiyah. Nama itu terinspirasi dari nama istri Nabi Muhammad, yaitu Aisyah. Aisyah dikenal sebagai wanita cerdas dan mumpuni. Dengan bergantinya nama tersebut, diharapkan anggota perkumpulan dapat meneladani istri Nabi Muhammad.
Tak hanya diisi dengan pengetahuan tentang agama, pengajian untuk kalangan perempuan ini juga mengajarkan tentang arti pentingnya pendidikan bagi masyarakat. Nyi Ahmad Dahlan juga dibantu suaminya, terutama dalam hal memberikan pelajaran membaca Alquran dan mendiskusikan maknanya. Dia berfokus pada ayat-ayat Alquran yang membahas isu-isu perempuan. Lewat perkumpulan itu, Nyai Ahmad Dahlan bertekad memperjuangkan hak-hak perempuan.
Melalui Aisyiyah, Nyi Ahmad Dahlan turut mendirikan sekolah-sekolah putri dan asrama. Selain itu, dia turut mendirikan tempat keaksaraan dan program pendidikan Islam bagi perempuan. Nyai Ahmad Dahlan juga getol menentang kawin paksa yang saat itu umum terjadi di masyarakat Jawa yang patriarki. Patriarki adalah sistem sosial di mana laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi. Kendati apa yang dilakukannya ini mendapat tentangan dari masyarakat pada awalnya. Namun, belakangan pemikiran Nyai Ahmad sedikit demi sedikit dapat diterima. Nyai Ahmad Dahlan berpendapat, perempuan dinikahi dengan maksud untuk menjadi mitra suami.
Setelah Ahmad Dahlan meninggal dunia pada 1923, Nyi Ahmad Dahlan terus aktif di Muhammadiyah dan Aisyiyah. Dia adalah perempuan pertama yang memimpin Kongres Muhammadiyah. Itu terjadi pada 1926, di Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya. Nyai Ahmad Dahlan masih tetap aktif hingga September 1934 setelah akhirnya Aisyiyah dilarang di Jawa dan Madura selama pendudukan Jepang. Setelah itu, Nyai Ahmad Dahlan kemudian bekerja di sekolah-sekolah sembari berjuang menjaga siswa dari paksaan untuk menyembah matahari dan menyanyikan lagu-lagu Jepang.
Nyi Ahmad Dahlan meninggal dunia pada 31 Mei 1946. Dia dimakamkan di belakang Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta. Berkat jasa dalam mengupayakan pendidikan dan memperjuangkan hak perempuan, pada 10 November 1971, Nyi Ahmad Dahlan dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Soeharto. Pada 2017 lalu, kisah Nyai Ahmad Dahlan diangkat ke layar lebar.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca: Perjalanan Sang Pencerah KH Ahmad Dahlan, Susah Payah Mendirikan Muhammadiyah
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.