Fintech Lending Tingkatkan Literasi Keuangan
Senin, 14 Februari 2022 21:43 WIB
INFO NASIONAL - Pemanfaatan fintech lending sebagai solusi pinjaman masa depan selain lewat perbankan mulai marak di masyarakat digital saat ini. Meski demikian, masih terpusat di Pulau Jawa. Demikian pernyataan Tenaga Ahli Komisi Pengawas SKK Migas Bidang Perencanaan Investasi, Anggawira.
"Bagaimana (caranya) start up tak hanya lahir dari kota di pulau besar saja, tapi menyebar di setiap tempat di negeri ini," ujar Anggawira dalam diskusi daring bertema “Peran dan Kontribusi Fintech Lending dalam Pemulihan Ekonomi Nasional” yang digelar Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Kamis, 10 Februari 2022.
Sedangkan Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Kuseryansyah mengemukakan bahwa belum meratanya fintech lending lantaran ada gap antara kebutuhan produksi para pengusaha dan kesiapan layanan perbankan. Fintech lending dapat melayani segmen usahawan yang belum memenuhi syarat perbankan.
Otorita Jasa Keuangan (OJK) yang dirintis pada pemeritahan Presiden Jokowi telah menumbuhkan digital finance termasuk keberadaan AFPI pada 2018 kemudian menaungi banyak fintech sejak 17 Januari 2019. Anggotanya kini mencapai 103 klaster produktif, multiguna dan syariah.
Sayangnya, belum ada perlindungan menyeluruh bagi pelaku fintech lending. Reformasi jasa keuangan, termasuk rancangan undang-undang yang mengatur perlindungan data pribadi yang belum disahkan. Ini menjadi agenda bersama Pemerintah dan DPR.
Selain kebijakan, lanjut Kuseryansyah, dibutuhkan literasi dan edukasi bagi konsumen. Pedoman perilaku transparan untuk produk dan metode penawaran ini dapat mencegah pinjaman berlebih sekaligus tindakan tak manusiawi pada konsumen. "Kita harapkan dunia fintech lending akan membaik, apalagi dengan komunikasi (melalui webinar daring) ini kami dapat berkolaborasi dengan para pengusaha muda termasuk HIPMI," ujarnya.
Presiden Direktur Rupiah Cepat, Yolanda mengatakan layanan pinjaman tunai tetap menjadi market potensial di Indonesia. Apalagi dengan regulasi keberadaan OJK sejak 2016, fintech dapat melayani keterbatasan industri perbankan dalam memenuhi kebutuhan produksi dalam negeri yang sangat besar. "Tantangannya masih terkait dengan pinjol ilegal. Bila kita lihat data sepanjang 2018 sampai 2021, Satgas Waspada menyebutkan ada 3.500 pinjol illegal," ujarnya.
Tantangan lainnya adalah literasi dan inklusi keuangan. Banyak yang memakai jasa keuangan digital tapi tak dibarengi tingkat literasi. “Jadi asal pakai aja, tak tahu hak penggunaan keuangan itu apa. Ini salah satu bentuk (misi) Rupiah Cepat, selain bisnis kami aktif memberikan sosialisasi, konsultasi dan workshop kepada publik," kata Yolanda.
Presiden Direktur UangMe, Vincent Jaya Saputra melihat sebenarnya saat ini pertumbuhan fintech cukup bagus, 7 persen, dan diprediksi akan naik terus. Namun masyarakat harus diedukasi agar tidak kalap dalam meminjam uang, apalagi terjerumus pada pinjol ilegal. "Menurut kami ini yang harus diantisipasi pemerintah dan penyelenggara agar berkolaborasi untuk mewujudkan fintech menjadi industri yang membantu masyarakat dan bertanggung jawab. Kami bersyukur OJK banyak menemukan 3.516 pinjol ilegal. Belum lagi isu pinjol ilegal jadi ajang pencucian uang karena untungnya besar dari suku bunga. Pemerintah lewat OJK bila perlu sediakan akses untuk warga yang melapor dan mengadu tentang pinjol yang ilegal dan meresahkan ini," kata Vincent.
Ketua Hubungan Media Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) Anthony Leong mengungkapkan perlunya memperkuat fungsi perlindungan untuk konsumen digital untuk menetralisir bisnis dari sisi negatif. Menurutnya, kenaikan transansaksi 106 anggota pada 2021 mengisyaratkan fintech lending dapat menjadi lokomotif ekonomi baru.
Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) Mardani H. Maming bahkan mengatakan banyak pengusaha HIPMI di 34 provinsi termasuk UMKM memerlukan fintech lending sehingga perlu dipikirkan bagaimana kolaborasi HIPMI dengan AFPI.
Sedangkan menurut Co-Founder dan Komisaris Finpedia Firlie Ganinduto, pada 2021 kehadiran fintech lending mampu menjadi jembatan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan di sektor produktif maupun konsumsi. Kondisi terlihat dari perbandingan antara pertumbuhan kredit bank yang berbeda jauh dengan pertumbuhan dari penyaluran pinjaman online.
“Pada November 2021, kredit bank tumbuh hanya 4,4 persen year o year (yoy) menjadi Rp5.694,9 triliun. Pada periode yang sama penyaluran pinjaman mencapai Rp12,97 triliun, tumbuh hingga 50,98 persen secara yoy,” kata Firlie.
Ia juga menyoroti kelebihan fintech lending selama pandemi Covid-19. Menurutnya, saat ini banyak industri keuangan yang bermetamorfosis ke arah digital. "Saya melihat ini solusi bagaimana fintech lending memanfaatkan teknologi digital di tengah kondisi pandemi di dunia dan di bangsa ini," katanya. (*)