Kasus Satelit di Kemhan, Mahfud Md Sebut Ada yang Sempat Hambat Agar Tak Dibuka
Reporter
Antara
Editor
Syailendra Persada
Minggu, 16 Januari 2022 15:02 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md mengatakan sempat ada pihak yang menghambat agar kasus satelit Orbit 123 di Kementerian Pertahanan untuk tidak dibuka.
Mahfud mengatakan upaya menghambat itu muncul ketika ia pertama kali tahu ada kisruh soal satelit tersebut. Ia menuturkan kasus tersebut berlangsung pada 2018, sebelum ia duduk sebagai Menko Polhukam.
“Saya tahu karena pada awal pandemi, ada laporan bahwa pemerintah harus hadir lagi ke sidang Arbitrase di Singapura karena digugat Navayo untuk membayar kontrak dan barang yang telah diterima Kemhan,” kata Mahfud, Ahad, 16 Januari 2022.
Kemudian, Mahfud mulai mengundang beberapa kementerian seperti Kementerian Pertahanan serta Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk mengetahui permasalahan yang sebenarnya. Nah, ia mengatakan di rapat-rapat ini ada pihak yang diduga sengaja menghambat agar kasus ini tidak dibuka.
“Saya putuskan untuk segera berhenti rapat melulu dan mengarahkan agar kasus ini diproses secara hukum,” kata Mahfud. Lalu, ia meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menggelar Audit Tujuan Tertentu (ATT).
“Hasilnya ternyata ya seperti itu, ada pelanggaran peraturan perundang-undangan dan negara telah dan bisa terus dirugikan,” ujar dia.
Kasus ini bermula pada 19 Januari 2015 saat Satelit Garuda-1 keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur. Hal ini membuat terjadinya kekosongan pengelolaan oleh Indonesia. Merujuk pada peraturan International Telecommunication Union (ITU) yang ada di bawah PBB, negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk kembali mengisi slot itu. Jika tak dipenuhi maka slot dapat digunakan negara lain.
Di Indonesia, slot ini dikelola oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Namun Kementerian Pertahanan kemudian meminta hak pengelolaan ini dengan alasan pembangunan Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Untuk mengisi slot itu, mereka menyewa Satelit Artemis yang merupakan satelit sementara pengisi orbit (floater) milik Avanti Communication Limited (Avanti).
Dari sini masalah mulai muncul. Mahfud Md mengatakan Kemenhan membuat kontrak dengan Avanti, Kemenhan belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut. Kontrak dengan Avanti diteken pada 6 Desember 2015, padahal persetujuan di Kominfo untuk pengelolaan slot orbit 123 baru keluar 29 Januari 2016. "Belum ada kewenangan dari negara dalam APBN bahwa harus mengadakan itu, melakukan pengadaan satelit dengan cara cara itu," kata Mahfud.
Lebih parah, kontrak Satelit orbit 123 tak hanya dilakukan dengan Avanti. Untuk membangun Satkomhan, Kemenhan juga menandatangani kontrak dengan Navajo, Airbus, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu 2015-2016. Menurut Mahfud Md, saat itu juga anggaran belum tersedia. Pada 2016 anggaran sempat tersedia namun dilakukan self blocking oleh Kemenhan.
Mahfud Md mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga meminta agar masalah satelit orbit 123 itu segera dibawa ke pidana. Bahkan, kata dia, Menhan Prabowo dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa tegas mengatakan tidak boleh ada pengistimewaan. "Saya berbicara dengan Jaksa Agung yang ternyata menyatakan kesiapannya dengan mantap untuk mengusut kasus ini,” kata Mahfud.
Baca juga: Kasus Satelit Kemenhan, Mahfud Md Minta BPKP Audit Tujuan Tertentu