Panglima Andika Sebut Ada Indikasi Anggotanya Terlibat Kasus Satelit Orbit 123
Reporter
Egi Adyatama
Editor
Eko Ari Wibowo
Jumat, 14 Januari 2022 13:05 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengatakan terdapat indikasi adanya keterlibatan anggota TNI dalam kasus dugaan pelanggaran hukum dalam pengelolaan satelit untuk slot orbit 123 Bujur Timur, yang terjadi sejak 2015 di Kementerian Pertahanan. Andika mengatakan hal ini ia ketahui usai bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD.
"Selasa kemarin saya sudah dipanggil Pak Menko Polhukam, intinya sama. Beliau menyampaikan bahwa proses hukum segera akan dimulai dan memang beliau menyebut ada indikasi awal beberapa personel TNI yang masuk dalam proses hukum," kata Andika Perkasa saat ditemui di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Jumat, 14 Januari 2022.
Andika berjanji untuk mendukung penegakan hukum terhadap anggotanya, jika memang terbukti bersalah. Langkah penegakan hukum oleh pemerintah, kata dia, akan dimulai jika nama-nama anggota yang diduga terlibat sudah keluar.
"Jadi kami menunggu nanti untuk nama-namanya yang masuk dalam kewenangan kami," kata Andika.
Kemarin, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan kasus ini bermula pada 19 Desember 2015 saat Kementerian Pertahanan mengambil alih hak pengelolaan orbit 123 BT dari Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kemhan menyebut hal ini untuk membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Kemhan pun langsung menggaet Avanti Communication Limited (Avanti), untuk menyewa Satelit Artemis sebagai satelit sementara pengisi orbit (floater).
Tak hanya dengan Avanti, kontrak juga dilakukan dengan Navajo, Airbus, Hogan Lovel, dan Telesat. Kontrak itu dibuat dalam kurun waktu 2015-2016. Kontrak-kontrak itu dilakukan untuk membuat satelit komunikasi pertahanan.
"Dengan nilai sangat besar padahal anggarannya belum ada. Berdasarkan kontrak itu, kontrak yang tanpa anggaran negara itu jelas melanggar prosedur," kata Mahfud.
Avant kemudian menggugat pemerintah di London Court of International Arbitration karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani hingga pada 9 Juli 2019. Pengadilan arbitrase di Inggris kemudian menjatuhkan putusan yang berakibat negara membayar dan mengeluarkan pembayaran untuk sewa satelit aternis ditambah dengan biaya arbitrase dan limit sebesar Rp 515 miliar.
"Jadi negara membayar 515 miliar untuk kontrak yang tidak ada dasarnya," kata Mahfud.
Selain dengan Avanti, gugatan juga dilakukan oleh Navajo. Belakangan, Pengadilan arbitrase di Singapura kemudian memutus Indonesia harus membayar $ 20.901.209 atau setara Rp 304 miliar.
Hari ini, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan bahwa kasus ini akan segera masuk ke tahap penyidikan. Kasus akan ditangani oleh Jaksa Umum Pidana Khusus Kejaksaan Agung.
"Hari ini kami tandatangani surat perintah penyidikannya. Kemudian nanti kalau kasus posisinya apapun, nanti tanyakan ke Jampidsus nanti sore," kata Burhanuddin.
Baca: Mahfud Md Minta Kejagung Usut Pengadaan Satelit Pada 2015 di Kemenhan