Heru Hidayat Dituntut Hukuman Mati, Begini Awal Mula Kasus Asabri
Reporter
Egi Adyatama
Editor
Aditya Budiman
Selasa, 7 Desember 2021 10:17 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa penuntut umum menuntut Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dengan hukuman mati dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 6 Desember 2021. Heru dinilai terbukti melakukan korupsi yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 22,788 triliun dari pengelolaan dana PT Asabri (Persero) serta pencucian uang.
"Menyatakan terdakwa Heru Hidayat terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan pemberatan secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang," kata jaksa.
Heru merupakan satu dari tujuh terdakwa perkara dugaan korupsi pengelolaan dana PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri). Selain dituntut hukuman mati, Heru Hidayat juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 12,643 triliun.
Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama satu bulan sesudah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita oleh kejaksaan dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Sebelumnya, Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan mengurai detail penyimpangan penempatan dana investasi di saham dan reksadana yang dilakukan Heru. Kegiatan itu ditengarai merugikan negara lebih dari Rp 10 triliun.
Cerita berawal pada 2012 ketika Asabri yang dipimpin oleh Mayor Jenderal (Purnawirawan) Adam Damiri memindahkan Rp 3 triliun, dari total Rp 3,8 triliun, obligasi korporasi ke reksadana. Dewan Komisaris menyetujui usul itu dengan syarat manajer investasi yang mengelola dana harus melalui beauty contest.
Pemindahan juga harus dilakukan untuk mencari imbal hasil yang lebih optimal. Adam Damiri disebut langsung memilih manajer investasi, salah satunya PT Insight Investment Management. Pada Desember 2012, Asabri menjual Rp 974 miliar obligasi korporasi untuk diinvestasikan ke Reksa Dana Guru lewat manajer investasi tersebut.
Nilai investasi kemudian bertambah Rp 100 miliar, sehingga totalnya Rp 1,07 triliun. Penempatan ke Reksa Dan Guru dinilai janggal sebab sejak 22 Agustus 2011, ketika Asabri pertama kali menempatkan investasi ke reksa dana itu, nilai aktiva bersihnya tidak pernah melebihi harga beli.
Audit BPKP menyebut rupanya koleksi saham di Reksa Dana Guru adalah saham-saham yang nilainya terus turun, seperti PT Eureka Prima Jakarta Tbk, PT Sugih Energy Tbk, dan PT Sigmmagold Inti Perkasa. Audit itu juga menyimpulkan bahwa saham yang menjadi aset Reksa Dana Guru terafiliasi dengan Benny Tjokro dan Heru Hidayat.
Pada saat bersamaan, BPKP mengaudit penempatan saham Jiwasraya. Kesimpulan audit itu mirip, bahwa mayoritas investasi mengalir ke saham-saham yang terafiliasi dengan dua pengusaha itu.
Peran Benny Tjokro dan Heru lebih kentara dengan melihat Laporan Hasil Audit Investigatif atas Penempatan Investasi Saham PT Asabri 2012-2017. Dari audit itu terungkap Sonny Widjaja, Direktur Utama yang menggantikan Adam Damiri, merancang jalan keluar mitigasi risiko portofolio perusahaan.
Mitigasi dijalankan lewat pembelian saham dari Heru Hidayat. Cara lainnya adalah membeli saham perusahaan BUMN yang dikoleksi Heru. Atau cara ketiga yaitu membeli saham dari Benny Tjokrosaputro.
Sejak itu, Asabri beberapa kali melakukan pembelian saham-saham yang terafiliasi dengan Heru Hidayat dan Benny Tjokro. Audit BPKP menyebut transaksi tersebut merugikan senilai Rp 2,1 triliun pada akhir 2018. Audit BPKP menyimpulkan kerugian akibat semua investasi yang terafiliasi dengan Heru mencapai Rp 9,7 triliun. Sedangkan, transaksi yang terafiliasi dengan Benny sebanyak Rp 859 miliar.
Baca juga: Sidang Kasus Korupsi PT Asabri, Heru Hidayat Dituntut Hukuman Mati