Ruhana Kuddus, Wartawati dan Guru Tanpa Sekolah Formal
Reporter
Tempo.co
Editor
Endri Kurniawati
Senin, 8 November 2021 20:32 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Google doodle hari ini, Senin, 8 November 2021 adalah Ruha<!--more-->na Kuddus, wartawati pertama Indonesia asal Minangkabau yang telah ditetapkan sebagai pahlawan. Namanya tidak terlalu populer, bahkan dalam beberapa literasi ditulis dengan ejaan beragam yakni Roehana Koeddoes, Rohanna Kuddus, dan Ruhanna Kuddus.
Ruhana Kuddus lahir pada 20 Desember 1884, di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda. Ruhanna adalah pejuang kesetaraan gender di tanah kelahirannya sekaligus seorang jurnalis, yang juga merupakan saudara seayah Sutan Syahrir, bibi Chairil Anwar, dan sepupu Agus Salim.
Journal of Feminism and Gender Studies Volume 1 Nomor 2 Juli – Desember 2021 menulis Ruhana sejatinya berasal dari keluarga menengah ke atas, tetapi tetap tak mendapatkan akses untuk menikmati bangku sekolah. Alasannya, karena Ruhanna perempuan.
Ruhana kecil memang hidup di pusaran patriarki. Pada abad ke19, kebebasan dan taraf kesejahteraan kehidupan perempuan masih mengalami kesenjangan yang diperkuat dengan stigma masyarakat tentang perempuan terbatas pada aktivitas sumur, kasur, dan dapur.
Meski tak pernah mengenyam bangku sekolah, namun Ruhana kecil adalah sosok cerdas dan pantang menyerah. Ia gemar mencari karena memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, tak segan bertanya atau belajar dari siapa pun orang yang ditemuinya.
Beruntung, Ruhana dikelilingi orang-orang pintar dan memiliki fasilitas bacaan yang lengkap. Dari ayahnya, Mohammad Rasjad Maharadja, Rohanna bisa baca-tulis.
Rasjad adalah pencetus Sekolah Rakyat khusus bagi pribumi di Koto Gadang. Ia gemar membawa majalah- majalah berbahasa Belanda untuk puterinya.
Kesempatan membaca tak hanya ingin dinikmati sendiri, Ruhana ingin agar seluruh temannya bisa memperoleh kesempatan yang sama. Ia membagikan apa yang dimilikinya kepada teman-teman sebayanya.<!--more-->
Tamar Djaja dalam bukunya Ruhana Kudus Srikandi Indonesia Riwayat Hidup dan Perjuangannya, cetakan ke sepuluh, mengungkapkan, setiap pagi Ruhanna mengajak teman sebayanya yang belum bisa membaca untuk main ke rumahnya. Di serambi depan rumah, Ruhanna kecil mulai membacakan majalah dan buku-buku sambil melatih mereka mengeja, hingga teman-teman seusianya pandai membaca.
Tak hanya bahasa Belanda, Ruhana juga mengajari teman-temannya baca tulis huruf Al-quran, hingga keterampilan memasak. Kegiatan menjadi guru kecil ini dilakukan dengan kondisi yang amat sederhana. belum mempunyai bangku dan meja, tetapi semuanya disuruh duduk bersila, dan Ruhanna tak memungut imbalan sedikit pun.
Masih mengutip dari buku Rohana Kudus Srikandi Indonesia Riwayat Hidup dan Perjuangannya, perjalanan hidup Rasjad memberikan dampak dan kontribusi yang besar bagi Ruhanna.
Saat Ruhana mengikuti ayahnya ke Alahan Panjang, ia bertetangga dengan istri pejabat Belanda atasan ayahnya, Adiesa. Adiesa mengajari Ruhana ketrampilan menyulam, menjahit, merenda, dan merajut yang merupakan keahlian perempuan Belanda. Keterampilan jahit menjahit Ruhana sebenarnya telah didapat terlebih dulu dari neneknya, Sini Tarmini, pembuat renda terawang Bukittinggi yang terkenal.
Bersama Adiesa, Ruhana juga kerap belajar dan membaca berbagai berita politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa, yang membuat pola pikir Ruhanna semakin terbuka dan modern. Mengikuti tugas sang ayah, Ruhana sempat hidup berpindah-pindah.
Di mana pun ia berada, ia selalu menjadi inspirator dan penggerak anak-anak seusianya untuk pandai membaca. Berbekal ilmu dan keterampilan, ia tak pernah bosan dan mengeluh untuk mengajar. Tak heran, di antara anak seusianya, Ruhana sangat disenangi dan terkenal di tengah masyarakat berkat jasanya.
Pada 1897, setelah ibunya wafat dan ayahnya menikah lagi dengan Asiah dan Rabiah, anak jaksa di Bonjol yang berasal dari Natal. Ruhana mantap memutuskan untuk hidup mandiri dan menetap di Koto Gadang, kampung halamannya.
Pada saat itu Koto Gadang masih berada dalam kondisi yang terpinggirkan, rawan kekerasan, baik seksual, ekonomi, fisik maupun psikis. Perempuan Koto Gadang masih dipingit, tidak boleh bersekolah, dan hanya melayani suami. <!--more-->
Ruhana merasa perlu mengubah nasib perempuan di kampung halamannya. Ruhana berpikir perempuan harus bangkit dari ketertinggalannya selama ini.
Dalam tulisannya yang dikutip Journal of Feminism and Gender Studies, Rohanna pernah menulis, "Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakuan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan.”
Mengutip dari kenangan.com, dari tulisan dan pola pikirnya, Ruhana mencoba menawarkan konsep kesetaraan gender dengan tidak menuntut persamaan hak perempuan dengan laki-laki. Namun lebih pada fungsi dan karakter alamiah dari perempuan sesuai dengan kodrat yang melekat pada dirinya.
Perempuan sejati adalah perempuan yang berdaya. Untuk itu dibutuhkan ilmu pengetahuan dan keterampilan, dan juga pendidikan untuk kelompok perempuan itu sendiri dalam menjalankan hidupnya.
Ema Pratama Agustiningsih dalam tulisannya tentang Pergerakan Perempuan Di Minangkabau: Kiprah Rohana Kudus Dalam Nasionalisme Tahun 1912-1972 melontarkan Gerakan yang dilakukan oleh Ruhana Kuddus lebih ditujukan untuk memberdayakan perempuan dan membantu perempuan Koto Gadang dari ketertinggalan.
Ruhana Kuddus hadir sebagai pembawa perubahan dan memberikan daya bagi perempuan pada masanya untuk beranjak dari ketidaksetaraan. Pemberdayaan yang dilakukan oleh Ruhana merupakan gerakan sosial dalam mendukung tercapainya sebuah kesetaraan gender.
Baca: Profil Rohana Kudus yang Jadi Pahlawan Nasional oleh Jokowi
HENDRIK KHOIRUL MUHID | EK