"Terutama dalam pengungkapan kebenaran, pemberian keadilan bagi korban, dan perlindungan bagi kelompok yang rentan," kata Ifdhal saat membacakan catatan akhir tahun Komisi di kantornya, Selasa (9/12).
Menurut Komisi, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berhasil mengolkan satu aturan yang memberikan penghormatan dan perlindungan bagi setiap warga negara. Beleid yang dimaksud adalah Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Kendati demikian, menurut Komisi, pada tahun ini juga terbit Undang-Undang Pornografi yang justru mengurangi kebebasan dan penghormatan bagi warga negara.
Komisi mencatat kemajuan hak asasi di Indonesia tahun ini masih dihadang oleh perilaku kekerasan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas tertentu. "Misalnya, kekerasan dan penyerangan terhadap aliran Ahmadiyah, Jamaah al-Qiyadah, Gereja Tani Mulya, dan Gereja Kristen Dayeuh Kolot," kata Ifdhal.
Ifdhal melanjutkan, sampai akhir tahun ini, ada tujuh hasil penyelidikan Komisi yang menumpuk di Kejaksaan Agung. Ketujuh kasus itu adalah kasus penembakan mahasiswa Trisakti, kerusuhan Mei 1998, Semanggi I dan II, Wamena, Wasior, dan penculikan aktivis 1997-1998. "Perlu ada keputusan politik untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc," ujarnya.
Selain itu, kasus Lapindo, perlindungan buruh, dan pelaksanaan eksekusi terpidana mati yang gencar dilakukan Kejaksaan akhir-akhir ini, menjadi catatan Komisi di tahun ini. Terutama mengenai eksekusi mati, Komisi menganjurkan agar pemerintah mengajukan moratorium eksekusi. "Selama aturan eksekusi belum dihapus, pemerintah harus menangguhkan eksekusi terpidana mati," ujar Ifdhal.
ANTON SEPTIAN