Gerak Perempuan Kecam Soal Tes Pegawai KPK yang Bias Agama dan Seksisme
Reporter
Andita Rahma
Editor
Aditya Budiman
Jumat, 7 Mei 2021 16:45 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Gerak Perempuan dan KOMPAKS (Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual) mengecam keras pelaksanaan tes alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Mereka menilai beberapa tes dan pertanyaan tidak etis karena bernuansa seksis, mengandung bias agama, bias rasisme, dan diskriminatif.
Gerak Perempuan mencatat dari berbagai sumber berita terdapat beberapa pertanyaan yang tidak relevan. Mulai dari pertanyaan soal status perkawinan, hasrat seksual, kesediaan menjadi istri kedua, hingga apa saja yang dilakukan pegawai ketika menjalin hubungan.
Salah satu perwakilan Gerak Perempuan, Prilly, menyatakan pertanyaan tersebut tidak berkaitan dengan tugas, peran, dan tanggung jawab seorang pegawai KPK dan tidak layak ditanyakan dalam sesi wawancara.
"Pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan yang bernuansa seksis karena didasari oleh anggapan yang menempatkan perempuan sebatas pada fungsi dan peran organ reproduksinya dan sangat menghakimi privasi dari pegawai KPK tersebut, " ujar Prilly melalui keterangan tertulis pada Jumat, 7 Mei 2021.
Gerak Perempuan menilai pertanyaan dan pernyataan yang seksisme ini juga menunjukkan buruknya perspektif gender dari aparatur negara. Selain itu, tes wawasan kebangsaan (TWK) KPK juga ditanyakan ihwal ajaran agama atau hidup beragama.
Menurut Prilly, agama merupakan hak setiap warga negara dan privasi seseorang yang seharusnya tidak menjadi pertanyaan dalam seleksi pekerjaan. Ia menilai seleksi pekerjaan seharusnya bersifat profesional dan sebisa mungkin terbebas dari berbagai bias pribadi si pewawancara, salah satunya bias agama.
"Pertanyaan seperti "Islamnya Islam apa?" dan "Gimana kalau anaknya nikah beda agama?" tidak ada kaitannya dengan tujuan tes maupun pada kinerja dan tanggung jawab kerja," kata Prilly.
<!--more-->
Proses peralihan status pegawai KPK tidak terlepas dari disahkannya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. UU KPK ini mengubah status pegawai KPK menjadi ASN dan harus melewati tes peralihan.
Hal yang menjadi kontroversi adalah Aparatur Sipil Negara memiliki budaya kerja yang berbeda dengan status pegawai KPK. Pegawai KPK tidak memiliki kebebasan berserikat dan berkumpul ketika statusnya beralih menjadi ASN.
Wadah Pegawai KPK (WP KPK) sebagai kolektif pegawai KPK memiliki peran yang sangat besar dalam menjaga KPK dari gangguan pihak luar yang ingin menguasai dan menghancurkan KPK. Kekosongan orang-orang kritis di KPK tentunya akan menimbulkan kerugian besar bagi KPK untuk menjalankan fungsi secara maksimal dan optimal.
"Tes peralihan ini dianggap menjadi salah satu proses menyaring orang-orang yang selama ini kritis terhadap kebijakan pemimpin, bahkan terhadap kebijakan negara yang tidak melindungi KPK untuk membasmi koruptor. Hal ini terlihat dari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi dan menggiring opini peserta," ucap Prilly.
Gerak Perempuan dan KOMPAKS menilai bahwa proses tes peralihan tidak dilakukan secara profesional dan etis, terutama pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi, seksisme, dan diskriminatif. Proses profesional dan terhormat ini tercoreng dengan adanya orang-orang yang melakukan kekerasan terhadap perempuan pegawai KPK yang menjadi peserta tes.
Untuk itu, Gerak Perempuan dan KOMPAKS menuntut para pimpinan KPK untuk membatalkan evaluasi yang dilakukan berdasarkan hasil tes ngawur semacam ini
"Lalu, Dewan Pengawas KPK memberikan sanksi berat kepada Ketua KPK dan Pimpinan KPK yang membentuk peraturan Komisi KPK dan melakukan tes ini serta pihak-pihak yang menjalankan tes ini," kata Prilly.
Selanjunya, menuntut kepada semua pihak menjamin keamanan dan perlindungan identitas dari para peserta tes yang diharuskan menjawab pertanyaan-pertanyaan tidak etis, seksisme, rasis dan diskriminatif.
Terakhir, meminta Presiden Jokowi untuk membatalkan proses dan menganulir tes peralihan ASN tersebut yang terbukti melakukan pelecehan terhadap Pegawai KPK dan melampaui wewenang. Serta, menindak pimpinan yang melakukan pelecehan terhadap pegawai KPK peserta tes melalui TWK.
"Kepada Pemerintah dan DPR untuk mencabut UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) karena pengesahan UU tersebut justru semakin menghancurkan pemberantasan korupsi di Indonesia dan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual," ujar Prilly.
Baca juga: Pegawai KPK Ikut TWK Ditanya Persoalan Pribadi, Soal Menikah Sampai Pacaran
ANDITA RAHMA