Jokowi Minta Dikritik, SAFEnet: Jangan Lip Service, Revisi UU ITE
Reporter
Dewi Nurita
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 11 Februari 2021 05:22 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Damar Juniarto menyoroti pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang meminta masyarakat aktif mengkritik pemerintah. Pernyataan itu dinilai tepat mengingat kebebasan berpendapat dijamin konstitusi. Namun yang menjadi masalah, kata Damar, faktanya ruang kritik itu justru kerap dibungkam.
"Kan yang menjadi kendala adalah pernyataan itu tidak disertai dengan jaminan perlindungan kebebasan. Kita dikepung oleh regulasi yang membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi itu sendiri," ujar Damar saat dihubungi Tempo pada Rabu malam, 10 Oktober 2021.
SafeNet telah memetakan sejumlah aturan yang dinilai membuka celah pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Di antaranya; Pasal 26 UU ITE; Pasal 27 ayat 1 UU ITE; dan Pasal 40 UU ITE terkait blokir konten. Kemudian, Pasal 40 ayat 2b UU ITE terkait internet shutdown.
Selanjutnya, Pasal 27 ayat 3, Pasal 28 ayat 1 dan 2, Pasal 29 UU ITE; KUHP 310-311, 156, 156a yang dinilai berpotensi dipakai untuk kriminalisasi ekspresi. Pasal karet dinilai paling banyak terdapat di UU ITE.
Studi koalisi masyarakat sipil berdasarkan kasus yang dikumpulkan sepanjang 2016-2020, tingkat penghukuman dengan UU ITE sangat tinggi, yakni; 96,8 persen (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan 88 persen (676 perkara).
<!--more-->
"Dari situ kan orang tentu berhitung, kalau menyampaikan kritik, apa jaminan saya tidak terciduk UU ITE? Kan tidak ada jaminannya," ujar Damar.
Untuk itu, ujar Damar, pemerintah diminta tidak hanya mengimbau masyarakat kritis, namun juga harus menjamin kebebasan masyarakat dalam berpendapat. "Kalau begini, masyarakat jadi dilematis. Kalau bersuara masuk penjara, kalau tidak bersuara praktek buruk itu terus ada," ujar dia.
SAFEnet mendorong pemerintah segera mengajukan revisi terhadap UU ITE yang dinilai telah menyimpang jauh dari semangat awalnya, yang kini, menurut Damar, banyak digunakan kalangan politisi dan orang yang mempunyai kekuasaan untuk menjatuhkan lawan politiknya.
"Sekali lagi, imbauan agar masyarakat kritis tanpa disertai tindakan untuk memperbaiki regulasi atau hukum yang membatasi ruang kritik itu, saya rasa akan jadi sekadar lip service atau janji di bibir saja," tuturnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi meminta masyarakat untuk lebih aktif dalam memberi masukan dan kritik pada pemerintah. Hal ini, kata Jokowi, adalah bagian dari proses untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik.
<!--more-->
"Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik masukan ataupun potensi maladministrasi dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya-upaya perbaikan perbaikan," kata Jokowi, Senin lalu.
Sehari setelah itu, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menambahkan bahwa kritik, saran, dan masukan itu seperti jamu yang menguatkan pemerintah. "Kami memerlukan kritik yang terbuka, kritik yang pedas, kritik yang keras, karena dengan kritik itulah pemerintah akan membangun lebih terarah dan lebih benar,” ujar Pramono dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional, Selasa lalu.
BACA: Jokowi Minta Dikritik, Susi - Kwik Kian Gie Soroti Hate Speech dan Buzzer
DEWI NURITA