Pengunjuk rasa menembakkan kembang api ke arah petugas kepolisian saat terjadi bentrok di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis 8 Oktober 2020. Bentrokan terjadi saat polisi berusaha membubarkan massa yang menolak Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja. ANTARA FOTO/Abriawan Abhe
TEMPO.CO, Jakarta - Amnesty International Indonesia menyebut kepolisian telah melanggar HAM selama mengawal unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja Omnibus Law.
Pernyataan itu didapat setelah Amnesty International Indonesia bekerja sama denganCrisis Evidence Lab dan Digital Verification Corps Amnesty International, memverifikasi 51 video yang menggambarkan 43 insiden kekerasan oleh polisi antara 6 Oktober hingga 10 November 2020.
“Hasil pemeriksaan kami atas insiden ini menunjukkan bahwa polisi di berbagai Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM yang mengkhawatirkan,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, melalui keterangan tertulis pada Rabu, 2 Desember 2020.
Usman mengatakan, ketika para pengunjuk rasa berdemo menuntut pembatalan Omnibus Law, sebagian dari mereka direspon dengan kekerasan seperti pemukulan, penyiksaan, dan perlakuan buruk lainnya.
Sebelumnya, pemantauan yang dilakukan oleh Amnesty International Indonesia mendokumentasikan setidaknya 402 korban kekerasan polisi di 15 provinsi selama aksi tersebut.
Amnesty juga mencatat sebanyak 6.658 orang ditangkap di 21 provinsi. Berdasarkan laporan dari tim advokasi gabungan, sebanyak 301 dari mereka ditahan dengan jangka waktu yang berbeda-beda, termasuk 18 jurnalis, yang kini telah dibebaskan.
Data pemantauan Amnesty International Indonesia juga menunjukkan protes daring UU Cipta Kerja juga ditanggapi dengan intimidasi. Sepanjang 7-20 Oktober 2020, tercatat 18 orang di tujuh provinsi dijadikan tersangka karena dituduh melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Belum ada satu pun dari mereka yang divonis.
“Ada banyak sekali video dan kesaksian tentang kekerasan polisi yang beredar sejak hari pertama aksi. Insiden ini mengingatkan kita pada kekerasan brutal terhadap mahasiswa Indonesia 22 tahun lalu, di akhir masa rezim Soeharto. Pihak berwenang harus belajar dari masa lalu bahwa rakyat tidak pernah takut untuk menyuarakan hak mereka,” kata Usman.