Cerita Eks Sekretaris Interpol Polri 2 Tahun Memburu Djoko Tjandra
Reporter
M Rosseno Aji
Editor
Aditya Budiman
Senin, 23 November 2020 18:31 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Sekretaris NCB Interpol Mabes Polri Komisaris Jenderal Purnawirawan Setyo Wasisto menceritakan upaya polisi menangkap buronan kasus korupsi cessie Bank Bali, Djoko Tjandra. Cerita itu dia sampaikan saat menjadi saksi kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra dengan terdakwa Brigjen Prasetijo Utomo.
Setyo menjabat Sekretaris NCB Interpol periode 2013-2015. Dia mengatakan pada 2014 menyurati interpol Taiwan untuk menangkap Djoko atau Joko Tjandra.
Menurut informasi, kata dia, Djoko kala itu kerap datang ke Taiwan. "Ada informasi bahwa saudara Djoko Tjandra sering ke sana sehingga kami minta kerja sama dengan interpol Taiwan untuk meminta atensi agar menangkap dan menahan yang bersangkutan," kata Setyo saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 23 November 2020.
Setahun kemudian, kata dia, Setyo menyurati polisi Korea Selatan. Dia mengatakan polisi mendapat informasi anak Djoko akan menggelar pernikahan di Korea Selatan. Polisi Indonesia lantas meminta bantuan polisi Korsel untuk menangkap Djoko.
Mantan Kepala Divisi Humas Polri ini mengatakan pernah juga menyurati Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM pada 12 Februari 2015. Surat tersebut dilayangkan setelah orang tua Djoko Tjandra yang tinggal di Indonesia meninggal.
Kepolisian mengantisipasi Djoko akan kembali ke Indonesia karena peristiwa itu. Dalam surat itu juga disebutkan bahwa Djoko memiliki paspor baru dari Papua Nugini. Namun, menurut Setyo, ternyata Djoko tak pulang ke Indonesia.
Pada 2020, ketika Setyo tak lagi di jabatan itu, Sekretariat NCB Interpol kembali menyurati Direktorat Jenderal Imigrasi pada 5 Mei. Namun, surat itu menerangkan bahwa Djoko sudah tak lagi masuk daftar red notice Interpol.
Atas dasar surat dari NCB Interpol itu, menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, Imigrasi menghapus nama Djoko dari daftar “orang terlarang” di perlintasan Imigrasi. Sehingga, Djoko bisa masuk ke Indonesia untuk mendaftarkan Peninjauan Kembali tanpa terdeteksi.
Dari peristiwa itu, kepolisian menetapkan eks Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo menjadi tersangka. Jaksa mendakwa Irjen Napoleon menerima uang SGD$ 200 ribu dan US$ 270 ribu dari Djoko Tjandra.