Aksi meniti slackline saat mahasiswa dan aktivis lingkungan hidup gelar aksi penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang berdampak pada perusakan lingkungan di Bandung, Senin, 26 Oktober 2020. Mereka melakukan kampanye di persimpangan jalan dan pembentangan spanduk di flyover Pasupati. TEMPO/Prima Mulia
TEMPO.CO, Jakarta -Wakil Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Aditya Bagus Santoso menyoroti perbedaan Pasal 49A pada Pasal 19 angka 10 Undang-undang Cipta Kerja. Pasal itu mengatur tentang sanksi administratif bagi orang yang memanfaatkan ruang laut tanpa perizinan berusaha secara menetap.
"Ini adalah bentuk ketidakonsistenan dari para penyusun dan para editor karena terburu-buru dan harus menyelesaikan banyak amandemen," kata Aditya kepada Tempo, Selasa, 27 Oktober 2020.
Dalam naskah UU Cipta Kerja versi 905 halaman yang beredar 5 Oktober, pada Pasal 49A ayat (1) huruf d tertulis 'pembongkaran bangunan'. Namun norma ini dihapus dalam naskah versi 812 halaman yang dikirimkan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden Joko Widodo.
Sebagai gantinya, tertulis 'pencabutan Perizinan Berusaha'. Ada pula tambahan norma baru pada poin e yang berbunyi 'pembatalan Perizinan Berusaha'. "Dengan perubahan yang berulang kali, bahkan setelah ketok palu, saya pikir sudah jelas ada kejanggalan dan kepentingan jahat beberapa kelompok dalam UU ini," ujar Aditya.
Aditya memprediksi UU Cipta Kerja ini akan menimbulkan berbagai permasalahan ketika nanti sudah diundangkan. Ia menduga akan bermunculan banyak tafsir yang berbeda dan saling tumpang tindih.
Sanksi administratif, dia mencontohkan, diatur secara rinci di beberapa pasal dalam UU Cipta Kerja. Namun ada juga pasal-pasal yang tak merinci sanksi administratif dan menyerahkan pengaturannya dalam peraturan pemerintah. "Saya yakin nantinya jika UU ini sudah diundangankan permasalahan akan bermunculan," ucap dia.
Perubahan Pasal 49A ini sebelumnya dikemukakan anggota Badan Legislasi DPR Bukhori Yusuf. Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu mengatakan dua versi naskah itu juga disandingkan dengan keputusan rapat panitia kerja (Panja) RUU Cipta Kerja.
Menurut Fraksi PKS, jenis sanksi administratif berupa pencabutan/pembatalan perizinan berusaha ini tidak efektif. Sebab dari awal pelaku pelanggaran memang tidak memiliki perizinan berusaha.
"Coba bayangkan jika bangunannya seperti gedung-gedung di pulau-pulau reklamasi yang tidak punya izin, lalu sanksinya dicabut izinnya. Lha enggak ada izinnya kok sanksinya dicabut perizinannya," kata Bukhori.
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas belum merespons ihwal perubahan norma ini. Ketika dikonfirmasi, Supratman menyatakan akan mengecek terlebih dulu.