Nelayan Protes Penambangan Pasir Laut Royal Boskalis di Makassar
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Maria Rita Hasugian
Sabtu, 25 Juli 2020 06:01 WIB
Jakarta - Sejumlah nelayan di Pulau Kodingareng, Makassar, Sulawesi Selatan, menyampaikan protes akibat kegiatan penambangan pasir laut oleh Kapal Quuen of The Netherlands, milik Royal Boskalis Wastminster N.V. Penambangan ini adalah bagian dari Makassar New Port (MNP), proyek strategis nasional pemerintahan yang diresmikan Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada 22 Mei 2015.
"Pengerukan pasir yang dilakukan Boskalis sekarang ini membuat nelayan merasa resah, karena setiap nelayan keluar cari ikan selalu tidak dapat karena airnya keruh," kata Zakia, salah seorang istri nelayan Pulau Kodingareng dalam konferensi pers Koalisi Selamatkan Laut Indonesia, Jumat, 24 Juli 2020.
Akibatnya, kata Zakia, pendapatan nelayan di Pulau Kodingareng menurun drastis, Sebelum Boskalis mengeruk pasir, nelayan bisa mendapatkan 5 hingga 10 ekor jenis tenggiri. Kini, mereka hanya bisa dapat 1 ekor. "Kadang nga ada kami dapat," kata Zakia.
Tak hanya tangkapan ikan yang berkurang, harga di pasaran juga jatuh. Sebelum pandemi Covid-19, Zakia menyebut harga ikan tangkapan nelayan dihargai Rp 45 sampai Rp 60 ribu per kilo. Kini, hanya Rp 25 ribu per kilo.
Penanggung jawab proyek ini adalah PT Pelabuhan Indonesia IV (Persero). Mereka menggandeng PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk atau yang biasa dikenal PT PP. Boskalis yang berasal dari Belanda pun menjadi mitra dari PT PP dalam proyek ini.
Beberapa hari terakhir, Zakia dan nelayan di lokasi sudah melakukan lima kali aksi untuk mencegah Boskalis mengeruk pasir laut. Akan tetapi, Boskalis tidak berhenti. Sebaliknya, Zakia menyebut polisi datang memperingatkan warga untuk tidak lagi melakukan aksi protes.
Nelayan bergeming dan akan tetap melakukan aksi penolakan. "Karena kami tidak tahan, dia (Boskalis) selalu keruk pasir di wilayah tangkap ikan kami," kata Zakia.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil terlibat dalam koalisi ini mendampingi Zakia dan nelayan lain. Mulai dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Wahli), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara). "Yang terjadi menurut saya saat ini adalah penjajahan terhadap ruang hidup nelayan di Sulawesi," kata Koordinator Nasional Jatam Merah Johansyah.
Sejak 21 Juni 2020, Pelindo IV sudah mengeluarkan siara pers yang menyatakan proyek MNP sudah sesuai dengan prosedur yang ada. Proyek ini juga sudah memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan memperhatikan mitigasi lingkungan sekitarnya.
Tempo mengkonfirmasi keluhan Zakia kepada Pelindo IV. "Penambangan pasir itu sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku," kata Sekretaris Perusahaan Pelindo IV Dwi Rahmad Toto kepada Tempo di Jakarta, Jumat, 24 Juli 2020.
Toto mengatakan lokasi penambangan pasir ini telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2019 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3K) Provinsi Sulawesi Selatan. "Serta dalam pelaksanaan sangat memperhatikan aspek lingkungan dan kontrol yang ketat," kata dia.
Senior Manager Fasilitas Pelabuhan Pelindo IV Arwin mengatakan proyek MNP sudah sesuai dengan prosedur yang ada. Proyek ini juga sudah memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan memperhatikan mitigasi lingkungan sekitarnya.
Arwin pun memastikan pemakaian pasir laut, yang bersumber dari Boskalis, juga dilakukan sesuai prosedur. Mulai dari kelayakan lingkungan, perizinan, Corporate Social Responsibility (CSR) hingga pengawasan. "Kami selalu berupaya untuk mengikuti prinsip taat aturan," kata dia.