Kasus Covid-19 Indonesia Lewati Cina, Ini 7 Penyebabnya
Reporter
Dewi Nurita
Editor
Aditya Budiman
Minggu, 19 Juli 2020 18:11 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Angka kasus Covid-19 di Indonesia terus melonjak bahkan kini sudah melebihi Cina, negara tempat pertama kali virus Corona ditemukan. Data per Ahad, 19 Juli 2020, angka kasus positif Covid-19 di Indonesia mencapai 86.521, sementara di Cina 85.921 kasus.
Para epidemiolog yang tergabung dalam Paguyuban Rakyat Indonesia Melawan Pandemi Covid-19 menyebut ada tujuh penyebab fundamental mengapa Indonesia gagal mencegah dan menekan laju penularan Covid-19 sejak ancaman wabah ini pertama mengemuka enam bulan yang lalu.
"Pertama, absennya kepemimpinan yang memahami keilmuan, memiliki kepekaan krisis, berempati, tanggap dan konsisten dalam membuat dan melaksanakan kebijakan," tulis keterangan pers bersama Paguyuban Rakyat Indonesia Melawan Pandemi Covid-19 yang diterima Tempo, Ahad, 19 Juli 2020.
Sejak awal, sebut rilis tersebut, narasi yang didengungkan pemerintah, khususnya pesan-pesan publik yang disampaikan Presiden Jokowi, tidak mengutamakan perlindungan kesehatan melainkan aspek ekonomi.
Penyebab kedua ialah absennya komunikasi krisis yang benar serta buruknya tata kelola dan transparansi data, termasuk mengatur informasi Covid-19. "Kegagalan komunikasi risiko dan koordinasi ini membuat publik semakin bingung dalam menghadapi dan beradaptasi dengan situasi pandemi," tulis paguyuban. Selain itu, buruknya tata kelola menciptakan persepsi risiko yang sangat rendah dan menurunkan kewaspadaan pada tingkat individu.
Ketiga, tidak adanya visi dan strategi yang jelas, pemahaman yang benar mengenai keilmuan pandemi. Tak hanya itu, tidak ada juga struktur kelembagaan yang efektif untuk melakukan koordinasi, memimpin riset dan analisis, dan mengawasi pelaksanaan dan pengendalian secara efektif dan efisien.
"Gugus Tugas Covid-19 tidak efektif dalam merespons begitu banyak persoalan di
lapangan, seperti kebutuhan para first responder di lapangan, penyaluran bantuan sosial bagi masyarakat terdampak, penegakan aturan pembatasan sosial dan mobilitas, dan lainnya," kata Paguyuban Rakyat Indonesia Melawan Pandemi Covid-19.
Keempat, ialah absennya fungsi pemantauan, pengawasan dan evaluasi terhadap perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pengendalian yang diambil. "Ini bisa dilihat dari tidak adanya pengawalan dan pengawasan yang jelas terhadap segala kebijakan penanganan Covid-19 yang dilakukan baik oleh DPR, Ombudsman RI, Komnas HAM, dan lainnya," kata paguyuban.
Kelima, ketiadaan infrastruktur hukum penanggulangan pandemi Covid-19. "Hingga kini belum ada Peraturan Pemerintah turunan dari Undang-undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang dibentuk," sebutnya.
Keenam, pengawasan dan implementasi kebijakan pencegahan dan pengendalian Covid-19 di lapangan cenderung dilakukan oleh aparat pemerintah yang tidak memiliki kompetensi dalam hal isu kesehatan masyarakat.
"Ini dapat dilihat dari peran BIN untuk menyelenggarakan tes PCR yang bukan merupakan kompetensi lembaga tersebut. Lalu, penempatan personel gabungan TNI dan Polri dalam mengawal pelonggaran PSBB," tulis paguyuban.
Ketujuh ialah perumusan dan pelaksanaan kebijakan penanggulangan wabah pandemi Covid-19 di Indonesia masih minim perspektif nilai-nilai demokrasi dan HAM. "Hingga hari ini, kebijakan penanggulangan pandemi Covid-19 di Indonesia terkesan dirumuskan dan dijalankan secara satu arah dari Pemerintah tanpa melibatkan partisipasi publik," ujar paguyuban.
Selain para epidemiolog yang tergabung dalam Paguyuban Rakyat Melawan Pandemi Covid-19 ada sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang juga bergabung. Beberapa diantaranya ialah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, dan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI).
DEWI NURITA