Pengusaha Singapura Diduga Tadah Arang Bakau Ilegal
Selasa, 16 September 2008 14:45 WIB
Hal itu diungkapkan Aseng, pengawas PT. Harapan Barelang dan PT. Sinar Jaya yang dibekuk petugas Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) bersama polisi pada Minggu (14/9) lalu. Kedua perusahaan itu juga diduga sebagai pelaku perusakan hutan mangrove (bakau) yang kayunya digunakan sebagai bahan baku arang.
Direktur Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelauatan DKP, Ansori Zawawi, mengatakan, penangkapan Aseng berlangsung di sebuah gudang penimbunan batang mangrove dan arang di Pulau Galang. Petugas mendapatkan petunjuk tentang tindakan ilegal itu, dari penumpukan arang pada gudang tersebut.
"Ekspornya dalam jumlah besar, menggunakan peti kemas," kata Ansori kepada Tempo di Batam, Senin ( 16/9). Dari pengakuan Aseng maupun penyelidikan petugas, dapur arang dari bakau itu tersebar di beberapa pulau yang masih memiliki hutan mangrove cukup luas.
Untuk mengumpulkan kayu itu, Aseng mengupah para nelayan Rp. 800.000 per bulan. Akibat penebangan bakau ilegal itu, diperkirakan kerusakan hutan bakau di Batam sudah tahap kritis. “Dari jumlah 9.000 hektar yang ada, setiap tahun pohon bakau ditebang dengan luas 1.000 hektrar,” jelas Ansori.
Kini, kata Ansori, pihaknya berusaha menghubungi pemerintah Singapura dan Malaysia agar tidak menerima arang dan kayu bakau dari Indonesia termasuk Kepulauan Riau dan Batam khususnya. “Bahkan, dugaan sementara arang bakau ini juga berasal dari daerah lain seperti Bengkalis, Tanjung Batu, serta daerah lain di Riau,” kata Ansori.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Batam, Suhartini mengatakan, pihaknya saat ini sudah tidak memberikan izin pembuatan arang. Oleh sebab itu, PT. Harapan Barelang dan PT. Sinar Jaya melanggar ketentuan dan penyalahgunaan izin perusahaan. “Dalam akte notaris perusahaan disebutkan perdagangan umum, tapi tidak disebutkan secara specifik industri arang itu,” ujarnya.
Menurut catatan pihaknya, lanjut Suhartini, hingga saat ini, terdapat 300 dapur arang di Batam. Umunya berada di pulau-pulau terpencil dan sulit dijangkau.
Modus operandi pengusaha arang adalah membangun dapur di tengah hutan, kemudian arang dan kayu bakau diangkut perahu kecil kemudian disimpan di gudang milik PT. Harapan Barelang dan PT. SInar Jaya. "Kami stop izin pembuatan dapur itu," kata Suhartini kepada Tempo.
Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Centrum of Independent Social Political and Human Right Analysist, Rizaldy Ananda menyebut, pihak yang mengeluarkan izin itu terlibat pengrusakan hutan mangrove di Batam. " Kalau enggak ada izin, enggak mungkin berani," ujar Rizaldy.
Ia mencontohkan, 4.00 hutan bakau di Teluk Tering rusak parah akibat pembangunan perumahan rumah mewah Costarina. Akibatnya nelayan di Batu Besar seperti Nongsa, Teluk Tering, Bakau Serip tidak lagi bisa menangkap di perairan sejauh 2 mil. “Karena terumbu karang di sana telah mengalami sendimentasi akibat pengurukan. " Ini juga merusaka hutan bakau," lanjut Rizaldy.
Presiden Direktur PT. Arsikon, pengembang perumahan itu, Cahya enggan menjawab ketika konfirmasi Tempo. “Bapak sedang di luar," kata Kartika, Manager Marketing PT Arsikon menjawab.
Rumbadi Dalle