TEMPO.CO, Jakarta - Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi Wahyu Perdana mengatakan pengesahan Undang-Undang atau UU Minerba oleh DPR RI menunjukkan negara tak peduli hukum. “Perilaku negara enggak peduli hukum sama sekali soalnya,” kata Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi Wahyu Perdana dikonfirmasi di Jakarta, Kamis, 14 Mei 2020. Karenanya, Walhi dan organisasi non-pemerintah lainnya yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Bersihkan Indonesia mempertimbangkan uji materi UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi.
Berikut alasan-alasan para anggota koalisi sehingga mempertimbangkan uji materi UU Minerba:
Walhi Pasal-pasal dari 29 UU Minerba yang pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) itu "dihidupkan lagi" di draft “omnibus law”.
Auriga Nusantara
Peneliti Auriga Nusantara Iqbal Damanik mengatakan pengesahan revisi UU Minerba oleh DPR pada Selasa, 12 Mei 2020, menambah panjang masa ketergantungan ekonomi Indonesia pada komoditas sumber daya alam. Pengesahan itu memperlihatkan cara pandang yang eksploitatif.
Salah satunya adalah dengan ditambahkannya pasal 169 A yang menyebutkan kontrak atau perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk IUPK selama 10 tahun. “Tujuh Perusahaan Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) akan berakhir kontraknya kurang dari lima tahun lagi.”
Fokus Pemerintah pada penyelamatan pebisnis batubara ini melalui perubahan undang-undang. “Pemerintah seharusnya memaksa para pemegang kontrak atau perjanjian ini untuk menyelesaikan terlebih dahulu kewajibannya tidak serta merta menjamin perpanjangan.”
Kewajiban itu salah satunya adalah menutup lubang-lubang tambang yang disebabkan aktivitas pertambangan. Total luas lubang tambang itu lebih dari 87 ribu hectare. “Atau setara dengan luas Jakarta digabungkan dengan Kota Bandung,” ujar dia.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)
Koordinator Jatam Merah Johansyah mengatakan UU Minerba yang baru disahkan itu tidak berangkat dari masalah yang lahir dan dihadapi rakyat, buruh dan lingkungan hidup di lapangan. Pengesahan RUU itu dilakukan tanpa evaluasi atas kondisi krisis yang dihadapi.
Pembahasan revisi UU Minerba lahir dari titipan oligarki batubara pada politisi Senayan beserta parpol masing-masing sebagai akibat dari bentang politik di Indonesia yang dicengkeram oligarki.
UU Minerba memberikan hak veto kepada pengusaha pertambangan dan batubara, sedangkan partisipasi rakyat korban pertambangan, masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya seperti perempuan ditinggalkan, tidak dilibatkan dan tidak diakomodasi suaranya.”
Pembicaraan dalam sidang hanya seputar birokrasi perizinan, investasi dan divestasi saham. Sementara keselamatan rakyat korban tambang, ancaman kesehatan akibat tambang dan batubara hingga masalah polusi dan pencemaran lingkungan hidup diabaikan.